Tanjung Selor (ANTARA) - Ada pengakuan menarik dari sejumlah pelajar umum dan pesantren dalam "Dialog Kebangsaan" digelar Pondok Pesantren Fatimah Az-Zahra Bulungan bekerja sama dengan Densus 88 Antiteror Polri, di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, Sabtu malam (16/07).

Beberapa pelajar dari sekolah umum menilai sistem pendidikan, terutama proses atau pola belajar-mengajar perlu dievaluasi agar sesuai dengan era mereka sebagai generasi Z atau Gen Z.

Generasi yang lahir setelah generasi Y adalah mereka yang lahir pada 1995 sampai dengan 2010. Kadang Gen Z disebut juga sebagai "i Generation" atau generasi internet atau generasi net.

Mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi.

Dalam Dialog Kebangsaan dengan tema "Mencegah Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Lingkungan Sekolah", para siswa setuju bahwa pola mengajar seperti sekarang agaknya perlu dievaluasi, yakni guru hanya memberi materi satu arah dan menutup sikap kritis pelajar.

Baca juga: FKPT Kaltara: Penyuluh agama berperan strategis lawan radikalisme

Kondisi itu dikhawatirkan bisa memuluskan penyebaran virus intoleransi dan radikalisme, apalagi jika sang guru memang telah terpapar.

Mereka mengaku bahwa Gen Z tidak cocok lagi dengan pola belajar-mengajar generasi sebelumnya karena dianggap otoriter. Sebaliknya, mereka dibesarkan dengan pola-pola demokratis dan rasional di rumah dan lingkungannya.

Hal senada diungkapkan anak-anak pesantren, bahkan apa pun yang disampaikan para pengajar/ustadz dan kiai adalah kebenaran hakiki yang tak boleh disoal sehingga rawan terjadi doktrin untuk penyebaran virus radikalisme.

Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara Datu Iskandar Zulkarnaen selaku pemantik dalam dialog itu mengungkapkan
kelemahan pola belajar-mengajar satu arah dari guru.

Padahal, derasnya berbagai informasi yang mereka dapatkan dari kemajuan multimedia memungkinkan generasi ini untuk mengkritisi pengajar sehingga sebagai generasi multimedia atau Gen Z, mereka harusnya mendapat kesempatan untuk berkolaborasi, berbicara, dan bertindak.

Kerawanan radikalisme di sekolah bisa terlihat dari beberapa kajian sejumlah lembaga.

Baca juga: BNPT sebut Kaltara rawan penyebaran radikalisme

Data Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai radikalisme pada 2018 tercatat 57,03 persen guru, baik pada level SD dan SMP yang memiliki pandangan intoleran di Indonesia.

Hal senada dengan Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menemukan 48,9 persen siswa menyatakan kesediaan untuk ikut dalam aksi kekerasan yang berkaitan dengan masalah moral atau isu-isu keagamaan.

LaKIP --dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta-- melakukan penelitian di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri dikerjakan sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011.


Upaya menangkal radikalisme

Faktor lain membuat kerawanan penyebaran virus radikalisme di sekolah, yakni pelajaran moral, kebangsaan, dan agama terlihat hanya menjadi tanggung jawab bagi guru PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) dan guru agama dengan durasi sangat terbatas.

Guna menangkal, maka perlu langkah nyata dalam mentransformasikan para guru agar benar-benar bertanggung jawab menjadi seorang pendidik bukan sekadar pengajar pada semua level dengan misi kebangsaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sertifikasi guru di semua mata pelajaran harus pula dibarengi dengan wawasan kebangsaan yang baik dan memahami ancaman nyata radikalisme dan terorisme.

Selain harus menanamkan nilai kebangsaan melalui pelajaran, maka seyogyanya guru mampu menjadi teladan bagi siswa dalam menerapkan nilai-nilai kebangsaan, termasuk pelatihan yang berjenjang, berkelanjutan, dan berkualitas bagi para guru tentang radikalisme agar bukan hanya menyerahkan tanggung jawab kepada guru PKN dan pendidikan agama saja, tapi tugas pokok semua guru.

Baca juga: FKPT Kaltara nilai BNPT dibutuhkan karena ancaman terorisme nyata

Selain mengevaluasi pola belajar mengajar, maka tidak kalah pentingnya adalah meninjau ulang kurikulum dan buku-buku pelajaran.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebaiknya perlu membuat kurikulum dan buku pembelajaran bermuatan pencegahan radikalisme, intoleransi, dan terorisme bagi semua guru mata pelajaran dari berbagai jenjang.

Dalam hal ini perlu memperkuat pendidikan kebangsaan di sekolah, baik secara teori di dalam kelas maupun praktik di luar kelas dengan pola belajar-mengajar lebih dialogis dan demokratis bagi pelajar Gen Z ini.

Pola selama ini, pendidikan dengan wawasan kebangsaan, khususnya nilai-nilai Pancasila kebanyakan teori dengan durasi terbatas. Misal saja di sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat, Jepang, China, dan negara-negara Eropa nilai kebangsaan ditanamkan melalui praktik bangga dan menghormati lagu kebangsaan.
Berbagai aktivitas berhenti sementara saat ada lagu kebangsaan dikumandangkan.

Di Indonesia perlu terus menanamkan nilai kebangsaan dalam Lagu Indonesia Raya --Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958-- saat dinyanyikan, yakni sebagai kebanggaan yang membangkitkan semangat untuk meraih cita-cita nasional.


Trilogi pendidikan

Secara umum mencegah intoleransi, radikalisme, dan terorisme di sekolah bisa dilakukan efektif dengan memperkuat trilogi pilar pendidikan, yakni rumah, sekolah, dan lingkungan.

Trilogi Pendidikan digagas Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan bersumber pada tiga tempat, yaitu rumah, sekolah, dan lingkungan, seperti dijelaskan Fudyartanta (1990).

Trilogi pendidikan menjelaskan tentang pentingnya kesinambungan pendidikan bukan hanya di sekolah namun di rumah serta besarnya pengaruh lingkungan bagi pelajar.

Khusus di rumah, maka para siswa, guru, dan orang tua harus terus meningkatkan komunikasi karena masalah apa pun bisa dituntaskan jika ada komunikasi yang baik.

Bagi para siswa melalui pengawasan orang tua harus mendapatkan pelajaran agama secara benar dan utuh (kafah), mengingat agama apa pun tidak ada yang membenarkan sikap membenci dan permusuhan sebagai awal dari intoleran dan radikalisme.

Faktor lain membuat siswa mudah terpapar virus radikalisme, yakni karena usia mereka berada dalam fase pencarian jati diri. Dalam kondisi labil ini gampang disusupi paham-paham tidak benar, termasuk radikalisme melalui lingkungan atau pergaulan sosial.

Terkait kondisi rawan mengalami krisis identitas diri ini, maka para pelajar harus aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler baik bidang organisasi sekolah, olahraga, dan kesenian sesuai minat.

Hal lain yang harus dilakukan siswa, yakni menetapkan resolusi, baik jangka pendek, menengah, dan panjang agar fokus meraih cita-cita sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungan atau pergaulan sosial.

Yang tidak kalah pentingnya agar para siswa lebih selektif dalam memilih teman, jauhi teman bergaul yang bersifat negatif atau "toxic friendship" (hubungan pertemanan yang membuat seseorang merasa tidak didukung, selalu disalahkan, direndahkan, atau bahkan diserang, dan segala hal buruk lainnya).

Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.

"Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari).

Dengan berbagai upaya memperkuat trilogi pilar pendidikan ini, semoga efektif menghalau serangan virus radikalisme di sekolah.

Copyright © ANTARA 2022