peninggalan sejarah Kota Jakarta sejak zaman prasejarah
Jakarta (ANTARA) - Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta adalah sebuah ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia. Sebelum menjadi ibu kota dan berkembang menjadi kota terbesar Indonesia, wilayah yang saat ini dinamakan Jakarta mempunyai riwayat yang sangat panjang bahkan hingga ke masa prasejarah.
Perjalanan sejarah ini masih dapat kita pelajari dan kita nikmati hingga kini di Museum Sejarah Jakarta atau lebih populer bernama Museum Fatahillah. Museum tersebut terletak di Kawasan Kota Tua, Jalan Taman Fatahillah No.1, Pinangsia, Jakarta Barat atau tepatnya di tengah kawasan Kota Tua.
Baca juga: Merawat sejarah dalam melanjutkan pembangunan MRT Jakarta
Di sini pengunjung dapat menelusuri berbagai peninggalan sejarah Kota Jakarta sejak zaman prasejarah, masa kejayaan pelabuhan Sunda Kelapa, era penjajahan hingga ke zaman setelah kemerdekaan.
Gedung Museum yang berdiri saat ini awalnya merupakan Balai Kota (Stadhuis) yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Abraham Van Riebeeck pada 1710. Pembangunan gedung ini telah dimulai jauh lebih lama, yaitu era Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen pada 1627.
Sejarah Museum
Museum tersebut awalnya adalah sebuah Gedung Stadhuis (Balai Kota) untuk Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) di Jakarta, yang saat itu bernama Batavia. Bangunan tersebut didirikan 1620 dan memiliki banyak fungsi dari urusan hukum hingga pajak.
Penaklukan Jayakarta adalah tonggak baru bagi kekuasaan Belanda di tanah Betawi. Kota itu kemudian berganti nama jadi Batavia pada 1619 dan dipimpin oleh Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen.
Ia membangun segala macam fasilitas untuk menciptakan permukiman layak di wilayah yang dipimpinnya tersebut. Jan Pieterszoon Coen kemudian mendirikan sebuah balai kota di tepi timur Kali Besar pada 1620 yang bertujuan untuk menunjang pemerintahan VOC di Batavia.
Namun, bangunan itu dibongkar pada 1626 demi menghadapi serangan dari pasukan Sultan Agung.
Setahun kemudian, Jan Pieterzoon Coen memerintahkan untuk membangun kembali balai kota tersebut. Balai kota itu untuk sementara waktu bisa bertahan lama dan hanya memiliki satu masalah yaitu tanah yang tidak stabil.
Kondisi itu bertahan cukup lama. Bahkan, sampai Gubernur Jenderal VOC silih berganti. Baru pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704–1709) gedung itu dibongkar dan dibangun kembali di lokasinya yang sekarang yaitu di kota tua.
Gedung balai kota ketiga itu baru diresmikan oleh Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck pada 10 Juli 1710. Setelahnya, bangunan itu dijadikan gedung serbaguna dan tak melulu sebagai kantor administrasi, tetapi juga sebagai lokasi bayar pajak, pusat berdoa, pengadilan, penjara hingga tempat eksekusi tahanan.
Lalu pada1919, warga kota saat itu terutama warga Belanda mulai tertarik dengan sejarah Kota Batavia. Hingga kemudian pada 1930 terbentuk Yayasan Oud Batavia (Batavia Lama).
Yayasan ini bertujuan mengumpulkan segala ihwal tentang sejarah Kota Batavia. Sampai akhirnya mulai dibuka untuk umum pada 1939.
Pada masa kemerdekaan, Museum Oud Batavia berubah nama menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia). Lambat laun berganti nama menjadi Museum Sejarah Jakarta yang diresmikan pada 30 Maret 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.
Baca juga: Pengunjung Museum Sejarah Jakarta turun drastis selama PSBB transisi
Koleksi Museum
Koleksi-koleksi yang bisa ditemui di Museum Sejarah Jakarta ini mengenai kronologi sejarah Jakarta, beberapa replika peninggalan masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Pajajaran, hasil aktivitas penggalian arkeologis di Jakarta dan beberapa perabotan antik era penjajahan Belanda mulai dari abad ke-17 hingga 19.
Berbagai macam barang seperti mebel, lukisan, keramik, dan batu-batu zaman dahulu terkait dengan Jakarta, ada di Museum Sejarah Jakarta. Selain itu, terdapat berbagai macam senjata berupa pedang pada masa kolonial Belanda.
Namun, hal yang paling ikonis dalam museum tersebut adalah penjara bawah tanah. Penjara tersebut dahulu digunakan untuk para tahanan serta tokoh masyarakat yang melawan penjajahan Belanda.
Baca juga: Museum Sejarah Jakarta persingkat jam kunjungan
Penjara ini sangat kecil, gelap dan memiliki atap yang pendek hingga tahanan tidak bisa berdiri. Berdasarkan seorang pemandu museum, penjara bawah tanah ini pernah menahan Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien.
Agar museum ini menarik bagi para pengunjung, tata letak koleksi-koleksinya diurutkan berdasarkan urutan waktu sejarah Jakarta serta Jakarta sebagai pusat pertemuan budaya dari berbagai kelompok suku bangsa baik orang Indonesia asli maupun luar Indonesia.
Pameran koleksi di museum ini juga didukung secara grafis dengan menggunakan foto, sketsa, gambar, peta dan label deskripsi supaya lebih mudah dipahami.
Selain benda bersejarah yang berhubungan dengan Jakarta, museum ini juga memiliki Patung Dewa Hermes yang merupakan dewa dari mitologi Yunani. Dewa Hermes merupakan dewa yang melambangkan keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang. Dewa Hermes terletak di perempatan Harmoni.
Sedikitnya ada 23.500 koleksi barang baik dalam bentuk benda asli maupun replika yang bisa dilihat di sana.
Harga Tiket
Bila ingin mengunjungi Museum Sejarah Jakarta, anda hanya perlu mengeluarkan Rp5.000 untuk orang dewasa, Rp3.000 untuk mahasiswa, dan Rp2.000 bagi anak-anak melalui pembayarannya kartu JakLinko.
Pihak pengelola museum juga menjual kartu JakLinko dengan harga Rp35 ribu di pintu masuk museum, bila anda tidak memiliki kartu tersebut.
Museum ini beroperasi mulai Selasa hingga Minggu dari pukul 09.00 sampai 15.00 WIB. Sedangkan pada Senin dan hari libur nasional, museum tidak beroperasi atau tutup.
Baca juga: Museum Fatahillah tempel pengumuman tutup dadakan antisipasi COVID-19
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2022