Purwokerto (ANTARA) - Epidemiolog lapangan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yudhi Wibowo mengatakan perlu adanya upaya khusus untuk meningkatkan capaian vaksinasi penguat (booster), meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan wajib vaksinasi dosis ketiga bagi pelaku perjalanan.

"Ya, memang tidak mudah berhadapan dengan masyarakat, karena tingkat pemahaman dan latar belakangnya berbeda-beda," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Ia mengakui pemerintah telah melakukan pendekatan dengan membuat kebijakan yang mewajibkan pelaku perjalanan telah mendapatkan vaksin penguat.

Baca juga: Epidemiolog Unsoed: Vaksinasi penguat penting bagi lansia

Kebijakan tersebut sebenarnya bisa untuk "memaksa" masyarakat mengikuti vaksinasi dosis ketiga, karena jika tidak dibuat seperti itu, pencapaian vaksinasi penguat akan tetap rendah. "Itu karena masyarakat menganggapnya pandemi sudah selesai, sehingga tidak perlu booster," kata Yudhi.

Kendati demikian, dia mengakui sejak kebijakan wajib vaksinasi dosis ketiga itu diterapkan mulai 17 Juli 2022, cakupan vaksinasi penguat di sejumlah daerah termasuk Kabupaten Banyumas belum menunjukkan peningkatan signifikan.

Berdasarkan data Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) pada tanggal 14 Juli 2022, jumlah warga Banyumas yang telah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga sebanyak 421.601 orang atau 30,15 persen dari target 1.398.427 sasaran.

Berdasarkan data KPC-PEN per tanggal 24 Juli 2022, jumlah warga Banyumas yang telah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga sebanyak 434.256 orang atau 31,05 persen dari target, sehingga peningkatannya tidak terlalu signifikan.

Terkait dengan hal itu, Yudhi menyarankan pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk lebih mengintensifkan pendekatan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan cakupan vaksinasi dosis ketiga seiring dengan terus berkembangnya varian baru dari COVID-19.

Menurut dia, hal itu karena hingga saat sekarang pemahaman masyarakat terkait dengan vaksin COVID-19 masih minim.

Baca juga: Epidemiolog Unsoed: Sistem jemput bola efektif percepat vaksinasi

"Jadi, sering kali tidak mau divaksin karena tekanan darahnya tinggi, mencapai 150 mmHg. Justru itu keliru, karena orang-orang dengan komorbid yang seharusnya menjadi prioritas vaksin booster," katanya.

Ia mengatakan orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin jika tekanan darahnya di atas 190/90 mmHG dan biasanya yang bersangkutan akan diberi obat agar tekanan darahnya dapat segera turun.

Setelah tekanan darahnya dapat terkontrol di bawah 190/90 mmHG, orang tersebut boleh untuk mendapatkan vaksin.

"Sama halnya dengan penyakit gula. Sepanjang bisa terkontrol, ya boleh vaksin," kata Yudhi.

Oleh karena itu, kata dia, pemahaman masyarakat tentang vaksin penguat perlu diluruskan, apalagi bercampur dengan hoaks dan lain-lain.

Selain mengintensifkan pendekatan kepada masyarakat, lanjut dia, kegiatan vaksinasi dosis ketiga secara jemput bola juga perlu ditingkatkan kembali seperti saat vaksinasi dosis pertama dan kedua.

Baca juga: Epidemiolog: Percepat vaksinasi antisipasi lonjakan kasus COVID-19

Baca juga: Epidemiolog Unsoed: Antisipasi varian baru COVID-19 dengan taat prokes


"Petugas (vaksinator) juga perlu mendekatkan diri dengan masyarakat. Bisa membuka layanan vaksinasi di level balai desa atau kelurahan," katanya.

Dengan demikian, kata dia, masyarakat yang sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin dosis ketiga dapat ke tempat layanan vaksinasi yang ada di balai desa atau kelurahan. "Ini memang tantangan yang harus dikerjakan bersama-sama demi tercapainya cakupan vaksin booster," kata Yudhi.

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022