ada beberapa kendala dalam mencapai target penurunan angka stunting
Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membeberkan bahwa kurangnya sumber daya manusia (SDM) untuk advokasi dan rendahnya pengetahuan keluarga menjadi tantangan dalam menurunkan angka prevalensi kekerdilan pada anak (stunting) di Indonesia.

“Masih ada beberapa kendala dalam mencapai target penurunan angka stunting menjadi 14 persen di tahun 2024. Di antaranya masih terbatasnya sumber daya untuk advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang stunting di masyarakat, edukasi mengenai pencegahan stunting,” kata Penata Kependudukan dan Keluarga Berencana Ahli Muda BKKBN Muslicha dalam Peluncuran ILM "Cegah Stunting Itu Penting" yang diikuti di Jakarta, Senin.

Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, Muslicha mengaku bahwa pemahaman keluarga terkait pola asuh pada anak yang benar masih sangat kurang.

Pemahaman terkait pentingnya 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) misalnya, banyak keluarga terutama yang memiliki anak baduta dan balita tidak memahami pentingnya fase tersebut. Akibatnya, terjadinya siklus stunting dalam keluarga terus terjadi.

Baca juga: BKKBN dan Danone luncurkan ILM "Cegah Stunting Itu Penting"
Baca juga: BKKBN: Target penurunan prevalensi stunting sesuai RPJMN 2020-2024


Padahal, menurut Muslicha, pemahaman keluarga terkait stunting sangat berperan penting dalam pencegahan stunting di Indonesia dan menjadi suatu pilar penting dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas.

Hal itu, kata dia, juga diimbangi dengan terbatasnya sumber daya untuk advokasi di lapangan dalam melakukan KIE dalam masyarakat. Dibutuhkan tenaga yang lebih besar agar semua pengertian, upaya pencegahan dan pengetahuan gizi sampai ke masyarakat yang paling bawah, melalui upaya- upaya pencegahan yang sederhana dan bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Guna menangani permasalahan tersebut, BKKBN terus berusaha meningkatkan pemahaman keluarga terhadap stunting melalui promosi dan KIE seperti melalui pembuatan Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang menyasar keluarga dengan baduta atau balita terkait pengasuhan dalam 1.000 HPK.

Ia mengatakan, Program Bina Keluarga Balita (BKB) juga dibentuk sebagai wadah bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh cara mengeliminasi potensi stunting dalam keluarga melalui peningkatan pemahaman yang materinya dalam kegiatan penyuluh bina keluarga balita dan memuat delapan fungsi keluarga.

Kegiatan BKB meliputi edukasi kesehatan fisik dan mental ibu hamil dan ibu menyusui, pembiasaan PHBS bagi ibu hamil dan baduta, stimulasi perkembangan anak pada masa 1.000 HPK, meningkatkan peran ayah dan anggota keluarga lainnya dalam pengasuhan serta pengasuhan yang tanggap, cepat dan tepat terhadap kebutuhan anak.

Baca juga: Keluarga punya peran dalam penurunan angka stunting
Baca juga: BKKBN gunakan pendekatan keluarga lewat ILM untuk edukasi stunting

BKB sendiri sudah tersebar di 34 provinsi dan ada sebanyak 76.753 kelompok yang diisi oleh 853.462 keluarga yang diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku dan berkontribusi terhadap penurunan angka stunting.

Ia melanjutkan BKKBN sudah membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK) di lapangan dan sudah menciptakan BKB kit yang dananya berasal dari APBN untuk digunakan kader dan orang tua saat melakukan penyuluhan.

Dengan semua upaya itu, Muslicha menekankan pemberian edukasi sangat penting, sehingga harus terus didorong agar semua keluarga menjadi sehat dan tak ada lagi kelahiran bayi dalam keadaan stunting.

“Edukasi dan penyebaran informasi ini menurut kami harus terus dilakukan, agar semakin banyak masyarakat dan keluarga yang memahami bagaimana mencegah terjadinya stunting,” ujar dia.

Baca juga: BKKBN: Seribu hari pertama kehidupan krusial dalam pencegahan stunting
Baca juga: Edukasi keluarga masih jadi tantangan dalam pencegahan stunting

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022