regulasi tetap dipatuhi tetapi nasib pencari KPR subsidi juga harus terakomodasi
Jakarta (ANTARA) - Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. 

Angkanya mendekati 87 persen dan karena itu agaknya wajar bila nantinya ekonomi berbasis syariah bisa menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.

Untuk melihat kinerja ekonomi syariah maka cara yang paling mudah dengan melihat perkembangan perbankan syariah.

Otoritas Jasa Keuangan Ri mencatat aset perbankan syariah mencapai Rp686,29 triliun sampai dengan April 2022 atau tumbuh 12,71 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun pada periode tersebut Rp548,26 triliun lantas yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan Rp440,78 triliun atau masing-masing tumbuh 13,30 persen dan 10,25 persen.

Capaian ini tentunya menjadi rapor biru bagi pertumbuhan ekonomi syariah yang didominasi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Sebagaimana layaknya sistem ekonomi pada umum maka di belakang ekonomi syariah juga terdapat sejumlah sektor usaha baik itu jasa, perdagangan, industri, termasuk perumahan.
Pembeli rumah tengah melakukan akad kredit KPR BTN. ANTARA/HO-BTN


Diskusi
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah membentuk Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan gabungan dari Bank BNI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan Bank BRI Syariah.

Hal ini makin menarik karena peta jalan bagi perbankan syariah di Indonesia akan menjadi semakin jelas.

Baca juga: Pengamat dorong BUMN maksimalkan pembangunan hunian bersubsidi

Pertanyaannya adalah  bagaimana dengan Unit Usaha Syariah (UUS) Bank BTN?

Sampai saat ini masih menjadi diskusi hangat di kalangan pemangku kepentingan apakah bergabung ke bank lain atau kah tetap dipisah menjadi entitas tersendiri.

Namun yang jelas, agaknya pemisahan (spin off) menjadi BTN Syariah menjadi suatu keharusan seperti tertuang dalam amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Regulasi menetapkan unit usaha syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional (BUK) harus melakukan "spin-off" selambat-lambatnya 15 tahun setelah penerbitan regulasi itu. 

Artinya dalam 12 tahun hukumnya wajib melakukan pemisahan sehingga pada tahun depan (2023) harus sudah terbentuk Bank BTN Syariah dengan nilai aset 50 persen dari total nilai bank induk.

Jika kewajiban ini tidak diterapkan, maka pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mencabut izin usaha Sertifikat Badan Usaha sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 11/10 / PBI / 2009 pasal 43 (1).

Pada 2020, OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan Unit Usaha Syariah.

Pemisahan unit usaha syariah dari bank konvensional dapat dilakukan dalam tiga cara yaitu pertama, mendirikan bank syariah baru.

Baca juga: Mewujudkan impian rumah murah melalui ekosistem perumahan

Kedua, mengalihkan hak dan kewajiban unit usaha syariah kepada bank syariah yang telah ada, serta ketiga mengalihkan hak dan kewajiban kepada bank konvensional yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank syariah sesuai dengan arahan pemerintah.

Dengan model demikian, maka  ekonomi syariah menjadi salah satu faktor utama dan bukan sekadar alternatif pemacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Hal itu, termasuk dalam pengembangan tulang punggung ekonomi Indonesia yaitu segmen UMKM.

Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin pernah menjelaskan penggabungan beberapa bank berbasis syariah merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan sistem perbankan di Indonesia.

Hal ini seiring tingginya minat masyarakat terhadap keuangan syariah termasuk dalam pembiayaan perumahan.

Harapannya melalui integrasi bank syariah milik negara diharapkan dapat mengoptimalkan industri halal nasional yang sampai saat ini masih belum masuk peringkat lima besar dunia.
Penampakan rumah bersubsidi. (ANTARA/ HO)
Mungkinkah?
Seperti diketahui sampai saat ini layanan syariah di BTN masih berstatus unit usaha.

Yang kini menjadi pertanyaan masih mungkinkah setelah pemisahan menjadi bank syariah yang berdiri sendiri dengan fokus membiayai perumahan serupa dengan induknya Bank BTN.

Baca juga: Antara BTN, KPR, dan hunian layak untuk rakyat

Terkait hal itu Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera) Muhammad Joni meminta agar pemisahan Bank BTN Syariah berdiri sendiri mengingat perannya selama ini sangat besar dalam membiayai perumahan baik subsidi maupun nonsubsidi.

Menurut Joni, dalam mewujudkan industri halal, sektor perumahan juga memegang peranan penting bersanding dengan sektor lainnya.

Apalagi "backlog" (permintaan yang belum terpenuhi) sektor perumahan masih tinggi mencapai 12,75 juta pada 2020, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani hal ini sebagai akibat daya beli masyarakat yang tidak mampu mengejar harga rumah.

Joni mengungkapkan UUS BTN selama ini masih menjadi bank yang setia dalam menggarap pembiayaan perumahan terjangkau baik berupa penyediaan pembiayaan konstruksi maupun pembiayaan pemilikan rumah.

Mengutip data Tapera, Joni mengungkapkan kontribusi BTN dan UUS BTN dalam menyalurkan kredit/ pembiayaan pemilikan rumah melalui subsidi Fasilitas Likuiditias Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai 66 persen.

Joni menjelaskan dengan hadirnya bank syariah yang fokus di bidang perumahan (BTN Syariah) maka masyarakat punya dua opsi untuk mendapat layanan pembiayaan pemilikan rumah subsidi yakni konvensional atau syariah.

Pertimbangan matang
Sedangkan Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan secara matang integrasi Bank BTN Syariah ke dalam Bank Syariah Indonesia.

Hal itu karena BTN Syariah adalah satu-satunya bank syariah yang fokus di bidang perumahan. Kalau nanti BTN Syariah bergabung ke bank lain, maka tinggal BTN konvensional sendirian yang fokus pada pembiayaan rumah subsidi.

Baca juga: Wakil Ketua DPR: Permudah akses kepemilikan rumah bagi rakyat kecil

Padahal untuk mendukung program sejuta rumah seharusnya persentase KPR FLPP bersubsidi ditambah antara lain dengan memperkuat bank-bank yang selama ini setia sebagai penyalur.

Dia mengingatkan pentingnya kehadiran bank syariah di bidang perumahan terutama untuk menyediakan pembiayaan konstruksi, apalagi mayoritas pengembang perumahan subsidi merupakan usaha kecil dan menengah (UKM).

Karena itu, Totok mengkhawatirkan apabila bank penyalur subsidi kian terbatas maka tidak akan ada yang akan merealisasikan pembangunan rumah rakyat.

Totok mengatakan penting untuk mempertimbangkan agar pembiayaan perumahan terlebih untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terus berlanjut.

Tak hanya itu, pengadaan rumah rakyat ini dijamin konstitusi dan mayoritas yang membutuhkan adalah para pekerja/buruh, sebut Totok.

Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) juga berharap pemerintah bisa mempertimbangkan dengan matang nasib UUS BTN ke depan.

Menurut Ketua DPP Apersi Junaidi Abdillah, peran UUS BTN dalam membiayai perumahan anggotanya yang mayoritas bergerak di sektor rumah subsidi sangat penting.

Dengan demikian nasib UUS BTN ke depan memang sepatutnya menjadi bahan pertimbangan termasuk dampak-dampak ikutan yang bakal menyertainya.

Yang jelas regulasi tetap dipatuhi tetapi nasib pencari KPR subsidi juga harus terakomodasi.

Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2022