Ciawi, Jawa Barat (ANTARA) - The United Nations Population Fund (UNFPA) menyatakan sebanyak 121 juta kehamilan yang tidak direncanakan oleh perempuan terjadi di seluruh penjuru dunia setiap tahunnya.

“Hampir setengah dari seluruh kehamilan di dunia yang terjadi di luar rencana. Dari Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 sangat membuka mata, ini berarti ada 121 juta kehamilan yang terjadi setiap tahunnya tanpa perencanaan,“ kata UNFPA Indonesia Representative Anjali Sen dalam peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 di Ciawi, Jawa Barat, Jumat.

Hasil Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 mendapati bahwa sekitar seperempat dari seluruh perempuan di dunia tidak bisa berkata tidak pada seks ataupun membuat keputusan tentang kesehatan reproduksi dirinya sendiri.

Kehamilan yang tidak direncanakan telah mengindikasi akses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang tidak adil.

Baca juga: UNFPA: Kesetaraan dibutuhkan dalam rencanakan kehamilan ibu

Baca juga: UNFPA: Fokuskan perubahan demografi pada kualitas bukan sekadar angka


Akibatnya, Anjali membeberkan bahwa lebih dari 250 juta perempuan tidak bisa menggunakan metode kontrasepsi modern yang aman, meski ingin menghindari kehamilan. Kemudian sebanyak 172 juta tidak menggunakan kontrasepsi sama sekali.

Laporan juga menunjukkan sekitar 60 persen dari kehamilan yang tidak direncanakan itu, tidak diinginkan dan berakhir dengan keputusan untuk melakukan aborsi. Dengan adanya berbagai pembatasan, 45 persen aborsi dilakukan secara tidak aman, sehingga memicu kenaikan pada tingginya angka kematian ibu (AKI).

Kehamilan yang tidak direncanakan bahkan bisa menyumbang kerugian bagi dunia hingga mencapai miliaran dolar karena pengeluaran biaya untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan.

Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia. Tingginya kejadian kehamilan yang tidak direncanakan mengakibatkan kesehatan ibu terus memburuk, terputusnya pendidikan dan pemasukan pendapatan serta potensi besar atas terciptanya generasi berkualitas buruk di masa depan akibat kurangnya niat orang tua untuk mengasuh dan mendapatkan kasih sayang.

“Kita harus lebih sering membicarakan tentang hal ini. Kita butuh meningkatkan kesadaran tentang segala akibat buruk dari tidak bisanya perempuan memutuskan sendiri, apa yang mereka ingin lakukan, dengan tubuh mereka dan apa yang mereka rencanakan untuk masa depan,” kata Anjali.

Ia menambahkan adanya pandemi COVID-19 dan perang tak berkesudahan di sejumlah negara, telah mengganggu pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi seperti akses kontrasepsi hingga meningkatnya kekerasan berbasis jender meningkatkan kehamilan tidak direncanakan di banyak tempat.

Anjali menekankan bahwa kehamilan tidak direncanakan menjadi krisis tak terlihat bagi seorang perempuan meskipun seringkali hadir di depan mata. Masalah itu menyangkut hak asasi manusia bagi negara dan dunia.

Dengan demikian, dia mengatakan perlu adanya perubahan pada keseluruhan sistem dalam masyarakat baik dari hukum, kebiasaan, tradisi maupun peraturan keluarga untuk menghentikan kendali patriarki terhadap tubuh dan fertilitas perempuan.

“Tujuan kita bersama melindungi otonomi tubuh perempuan dan kemampuan perempuan, untuk mengambil keputusan matang tentang hubungan seksual. Kontrasepsi dan layanan kesehatan reproduksi adalah prioritas kita, semua ini mencakup dalam tujuan pembangunan berkelanjutan 2030,” ujar dia.*

Baca juga: UNFPA: Dunia akui peran BKKBN atasi masalah kependudukan

Baca juga: Program Mata Hati Dinkes Sleman diapresiasi Kemenkes dan UNFPA


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022