Denpasar (ANTARA) -
Selain terkenal karena pantai-pantainya yang indah, Bali menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang masih memegang kuat nilai-nilai tradisional. Upacara keagamaan dan ritual kebudayaan adalah hal yang melekat erat dalam pariwisata Bali.
 
Karena keunikan itulah, wisatawan dari berbagai belahan dunia selalu tertarik untuk mengunjungi Bali. Tujuan wisata pun beragam. Entah untuk menikmati pantainya yang indah atau pun untuk merasakan sensasi ritual kebudayaan masyarakat setempat. Salah satu tempat wisata yang ramai dikunjungi wisatawan adalah Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
 
Secara geografis, wisata Tenganan terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, sebelah timur Pulau Bali. Dari pusat kota Denpasar, Tenganan berada sejauh kurang lebih 65 kilometer dan membutuhkan waktu sekitar dua jam waktu tempuh.
 
Secara administratif, Desa Adat Tenganan berbatasan dengan Kecamatan Bebandem di sebelah Utara, Kecamatan Karangasem di sebelah Timur, Desa Pesedahan di sebelah Selatan dan di sebelah Barat berbatasan langsung dengan Desa Ngis. Tenganan sendiri berada di antara tiga bukit yakni Bukit Kangin, Bukit Kaja, dan Bukit Kauh.
 
Desa Adat Tenganan masuk dalam nominasi penerima anugerah Desa Wisata tahun 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari 179 desa wisata yang ada di Bali, desa wisata Tenganan Pegringsingan dikenal sebagai Desa Bali Aga atau Bali Kuna yang mempertahankan adat istiadat dan gaya hidup tradisional yang diwariskan dari leluhur.
 
Desa Adat 
Bendesa Adat Tenganan Pegringsingan Putu Suarjana saat ditemui di Tenganan, Minggu (31/7/2022) mengatakan ada latar belakang mengapa wilayah tersebut disebut Bali Aga, tidak lain karena Tenganan merupakan salah satu desa yang tidak terdampak oleh pendudukan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
 
Dibandingkan dengan aspek sosial kemasyarakatan desa lain di Bali, Desa Adat Tenganan digolongkan ke dalam desa Bali Aga atau Bali Kuna dimana Desa Bali Aga memiliki perbedaan dengan desa lain. Perbedaan itu terlihat dalam sistem pemerintahan desa, sistem kepemilikan tanah, sistem hierarki masyarakat dan tata cara upacara adat.
 
Salah satu hal unik yang disuguhkan kepada pengunjung model perumahan Perumahan di Pegringsingan yang memiliki kemiripan.

Menurut Bendesa Adat Putu Suarjana, ada tiga bagian utama dari corak hunian di Tenganan yakni Bale Agung yang digunakan untuk upacara adat dan pertemuan keluarga, Pura Yeh Santi yang terdiri dari beberapa bebatuan bertumpuk yang digunakan sebagai tempat persembahyangan yang hanya bisa diakses oleh masyarakat setempat terkait pelaksanaan upacara adat khusus.
 
Dari data yang dilaporkan oleh Bendesa adat Desa wisata Tenganan Pegrisingan Putu Suarjana, Desa Wisata Tenganan dihuni oleh 688 kepala keluarga dengan total penduduk hampir ribuan jiwa. Menurut cerita dia, beberapa desa yang tidak terpengaruh Kerajaan Majapahit adalah Desa Sembiran dan Desa Julah di Kabupaten Buleleng, serta beberapa desa di Kabupaten Bangli.
 
Putu Suarjana menjelaskan ada kekhasan desa Bali Aga yang membedakannya dengan desa lain di Bali yakni pertama, sistem pemujaan. Desa yang terpengaruh oleh kekuasaan Kerajaan Majapahit memiliki kekhasan terdapat tiga pura tempat persembahyangan yakni Pura Desa, Pura Puseh dan Pure Dalem. Hal tersebut tidak terdapat di desa Bali Aga, dimana ada banyak pura.
 
Selain itu, masyarakat Bali Aga tidak hanya menyembah para Dewa, tetapi juga menyembah para leluhur. Setidaknya di Tenganan, terdapat 35 pura tempat pemujaan. Kedua, sistem sosial kemasyarakatan. Yang unik di Pegringsingan adalah adanya persamaan derajat antara setiap pribadi, tanpa dibatasi oleh kelas sosial tertentu.
 
Jadi, masyarakat Pegringsingan tidak mengenal strata sosial seperti yang terdapat pada wilayah lain di Bali. Ketiga, sistem tata ruang.
 
"Masyarakat desa tenganan memiliki kesepakatan bersama bahwa semua tanah yang ada di Desa Tenganan tidak untuk diperjualbelikan. Masyarakat kami memiliki hukum yang disebut dengan Awik-awik," kata Bendesa Tenganan.
 
Dalam kebiasaan masyarakat Desa Adat Tenganan, warga desa yang telah menikah hanya diberikan waktu tiga bulan untuk membangun rumah di lahan yang telah disediakan oleh desa dengan sistem hak guna usaha. Pola pemukiman terbagi menjadi tiga jalur yakni Banjar Kangin, Banjar Tengah, dan Banjar Kauh.
 
Pola tata letak desa pun terbangun secara linear yang terdiri atas enam leret yang dipisahkan tiga jalan yang membagi Tenganan menjadi enam deret pemukiman. Masyarakat Tenganan tidak membangun rumah dari genteng, melainkan dari seng atau daun kelapa.
 
"Sederhananya, tanah bukan tempat berteduh, melainkan untuk berpijak. Jadi, kalau tanah diletakkan di atas itu menganggu kestabilan ekosistem masyarakat," kata Putu Suarjana.
 
Keempat, tata waktu. Masyarakat Tenganan memiliki perhitungan atau kalenderium tersendiri yang berbeda dengan kalender masehi ataupun kalender Bali.
 
Asal mula 
Bendesa adat Putu Suarjana menceritakan bahwa kisah penamaan desa Tenganan memiliki sumber yang beragam. Salah satu sumber yang akurat yang bisa dijadikan bahan acuan tentang desa Tenganan adalah buku Ketut Wirata.

Ketut Wirata dalam bukunya "Tradisi desa Bali Kuna Tenganan Pegringsingan Perspektif Hukum Adat Bali" merekam dengan sangat baik kisah awal mula nama Tenganan Pegringsingan.
 
Dalam buku tersebut Ketut Wirata menceritakan bahwa nama desa itu bermula pada saat seorang raja Bedahulu yang memiliki seekor kuda putih berekor hitam pemberian dewa Indra (Raja perang, dewa perang, dewa kemakmuran, desa hujan) yang bernama Onceswara.

Kuda itu sangat disayangi oleh raja dan keluarganya sampai kuda tersebut memiliki tempat tersendiri di kalangan keluarga raja. Hingga pada suatu malam, kuda Onceswara tak ditemukan di kandang.
 
Raja yang mengetahui kudanya hilang merasa sangat berduka. Raja memerintahkan para prajurit terbaiknya untuk mencari keberadaan Onceswara.
 
Tetapi, misi pencarian tersebut tak mendapat hasil. Raja pun bersabda jika ada ada yang menemukan kudanya dalam keadaan hidup akan diangkat jadi wakil menteri, jika ditemukan dalam keadaan mati akan diberikan tanah sejauh bau bangkai kuda itu tercium.
 
Salah satu tim yang mencari kuda tersebut adalah wong peneges. Wong peneges ini dibagi menjadi dua kelompok yang mana satu kelompok ke arah Timur laut dan satunya ke arah Barat laut.

Tim peneges yang mencari ke arah Barat tak menemukan apa-apa hingga sampai wilayah danau Beratan. Sementara itu, setelah berbulan-bulan tim peneges yang mencari ke arah Timur akhirnya menemukan kuda Onceswara dalam keadaaan sudah mati di tempat yang sekarang disebut Candidasa.
 
Raja yang mendengar cerita itu dengan perasaan sangat sedih. Namun, ia berpegang teguh pada janjinya. Raja kemudian memerintahkan menterinya untuk mengatur penentuan wilayah kekuasaan wong peneges yang telah berhasil menemukan Onceswara. Mulailah pengukuran tanah untuk wong peneges.
 
Setelah berjalan sekian lama, sang menteri kelelahan karena jauhnya perjalanan itu. Bau bangkai Onceswara tak kunjung hilang. Menteri pun mulai curiga. Akhirnya memerintahkan agar menggeledah barang bawaan wong peneges. Ternyata, dalam tas milik wong peneges ada tulang kuda Onceswara yang menyebabkan bau bangkai itu tak kunjung hilang. Akhirnya atas nama raja, menteri memberikan hadiah wilayah kepada wong peneges dari ujung bukit sebelah Utara sampai garis batas pantai ujung Selatan.
 
Wong peneges pun tinggal di daerah pesisir pantai. Namun, tak lama kemudian gelombang menghancurkan daerah itu yang menyebabkan kampung tersebut luluh lantak. Tempat itu sekarang disebut Candidasa. Berhadapan dengan situasi tersebut, pemimpin peneges memerintahkan agar warga bermukim ke daerah yang letaknya di tengah bukit yang melengkung yang disebut ngatengahang.
 
Dari sanalah cikal bakal nama Tenganan yang dikenal masyarakat luas. Sedangkan, nama Pegringsingan sendiri pada hasil tenun ikat wanita di Tenganan yang dikenal dengan nama kain Gringsing. Gringsing berasal dari dua kata yakni 'gring' yang artinya bencana, dan 'sing' artinya tidak. Jadi, Gringsing artinya tidak kena bencana. Itulah cikal bakal penyebutan Tenganan Pegringsingan.
 
Hingga kini, masyarakat desa Tenganan dikenal sebagai penganut agama Hindu dengan sekte Indra dengan ciri-ciri khas tidak mengenal kasta, tidak mengenal tradisi pembakaran mayat (ngaben), tidak merayakan hari raya Nyepi, Galungan dan Kuningan.
 
Masyarakat Tenganan meyakini bahwa mereka berasal dari desa Bedulu, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.
 
Hal lain yang unik di Desa Tenganan Pegringsingan adalah Perang Pandan. Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere. Peran pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang.

Tradisi makere-kere dikenal sebagai salah satu tradisi penting dan besar dalam ritual Sasih Sembah orang Tenganan. Uniknya tradisi Perang Pandan ini hanya digelar selama dua hari dalam setahun. Tahun 2022, tradisi Perang Pandan jatuh pada Kamis (23/6/2022) dan Jumat (24/6/2022). Dengan demikian, tunggu setahun lagi baru dapat menyaksikan ritual ini.
 
Selain itu, Tenganan Pegringsingan sangat terkenal dengan kain tenun ikat kain Gringsing. Kain Gringsing telah mendapat hak indikasi geografis dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Kain tenun ini dipercaya memiliki daya magis dan sejarah yang panjang bagi masyarakat Tenganan.
 
Pada puncak perhelatan keketuaan Indonesia dalam G20, kain Gringsing menjadi salah satu suvenir yang akan diberikan kepada delegasi yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali pada 15-16 November 2022.
 
Karena keunikan itulah, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno pada 18 Agustus 2021 memberikan piagam penghargaan kepada desa wisata Tenganan Pegrisingan sebagai 50 desa wisata terbaik pada ajang 'Anugerah Desa Wisata Indonesia tahun 2021'.
 
Jadi, untuk wisatawan yang ingin melihat dan merasakan sensasi kehidupan orang Bali asli sebelum pendudukan Kerajaan Majapahit, Tenganan Pegringsingan adalah tempat yang paling tepat untuk dikunjungi.

Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2022