Perlahan-lahan akan tukar menggunakan bahan pangan lokal
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI menyatakan bila pangan lokal menjadi alternatif dan pertimbangan pemerintah untuk mencegah terjadinya kejenuhan terhadap bantuan yang diberikan dalam mengatasi permasalahan stunting.
 

“Stunting itu kan suatu kondisi kekurangan gizi kronik. Jadi berarti sudah lama dan cenderung tidak reversible,” Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam workshop “Menganalisis Tren Stunting dan Persoalan Sistematis Gizi Buruk” yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (4/8)
 

Nadia mengaku pemerintah kini memberikan beberapa bantuan makanan sebagai pendamping ASI (MP-ASI), seperti biskuit yang kadar kalori serta kandungan gizinya sudah ditentukan.
 

Namun pemberian tersebut tidak bisa dikatakan dapat mengoptimalkan program percepatan penurunan stunting karena adanya kemungkinan keluarga jenuh mengkonsumsi bantuan itu. Alih-alih justru tidak diberikan kepada anak ataupun ibu hamil, melainkan ayah atau makanan yang disajikan ketika kedatangan tamu.
 

Dengan adanya kemungkinan itu, pemerintah akhirnya mempertimbangkan untuk memanfaatkan pangan lokal yang ada di daerah, sesuai dengan ketersediaan dan manfaatnya sebagai MP-ASI dan koreksi gizi ibu hamil.

Baca juga: Kemenkes perkuat kampanye pangan lokal atasi kekerdilan anak Indonesia

Baca juga: Kemenko PMK dorong pemanfaatan pangan lokal untuk cegah kekerdilan

 

Pangan lokal juga dimaksimalkan agar asupan protein hewani yang kaya akan asam amino dapat mencukupi gizi anak, sehingga bisa tumbuh dengan optimal.
 

“Memang menantang karena harus makan biskuit berbulan-bulan atau kalau ada tamu disuguhkan biskuit itu juga. Sebagian masyarakat tidak punya pilihan (makanan) untuk menyuguhi tamu, akhirnya biskuit pun jadi. Hal itu kita sekarang mulai perlahan-lahan akan shifting (tukar) menggunakan bahan pangan lokal,” ujar Nadia.
 

Nadia menambahkan pertimbangan lain bantuan yang diberikan tidak berupa susu formula atau kental manis adalah ingin memaksimalkan pemberian ASI eksklusif ibu kepada bayi hingga berusia enam bulan dan dilanjutkan sampai usia dua tahun.
 

Menurut Nadia, ASI adalah susu yang bisa didapatkan dengan sangat mudah, murah dan mengandung semua gizi yang diperlukan oleh anak meskipun rasa ASI akan mengikuti makanan yang dikonsumsi oleh ibu.
 

Adapun pertimbangan lainnya yakni menghindari asupan gula berlebih pada anak, hingga hilangnya nafsu makan akibat terlalu banyak mengkonsumsi makanan manis.
 

“Dengan kondisi tersebut, memberikan susu kemasan itu akan membuat anak pasti tidak mau meminum ASI lagi, sayang dan artinya sumber protein dia menjadi hilang. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada kasus-kasus tertentu pemberian (bantuan) ASI dengan tas sehat dari dokter itu akan kita lakukan,” ucap Nadia.

Baca juga: PKK Pusat: Stunting di Papua Barat bisa ditekan dengan pangan lokal

Baca juga: Hari Gizi Nasional dan isu pangan lokal di tengah pandemi

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022