Jakarta (ANTARA) - Destructive Fishing Watch (DFW) menyatakan bahwa peningkatan akurasi data terhadap jumlah kapal di sektor perikanan tangkap merupakan solusi untuk mengatasi persoalan kelangkaan BBM yang dialami nelayan di sejumlah daerah.

Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Jumat, memberikan analisis kelangkaan dan mahalnya harga BBM nelayan yang terkait dengan data, yaitu disebabkan kurangnya kuota yang tersedia dibandingkan dengan jumlah kapal penangkap ikan saat ini.

"Kemungkinan formula perhitungan dan penentuan alokasi BBM untuk kegiatan perikanan tangkap tidak berdasarkan jumlah data kapal yang yang sebenarnya," kata Moh Abdi Suhufan.

Data ini, masih menurut dia menjadi masalah mendasar yang tidak bisa diselesaikan sejak dahulu oleh sejumlah kementerian terkait seperti KKP. Akibatnya, terjadi gap antara kebutuhan dan alokasi BBM bagi kegiatan perikanan tangkap termasuk BBM bersubsidi.

Ia mendesak adanya solusi konkrit atas kelangkaan BBM nelayan yang terjadi hampir dua bulan ini, karena pihaknya masih mendapat kabar mengenai nelayan yang melaporkan mahal dan langkanya harga BBM jenis solar yang sangat dibutuhkan untuk melaut.

"Padahal urusan BBM nelayan setidaknya ditangani oleh tiga kementerian yaitu Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, ditambah Pertamina. Kondisi ini merupakan dampak dari tata kelola perikanan yang dilakukan secara parsial, tidak terintegrasi dan tambal sulam," katanya.

Abdi mengungkapkan, akibat mahalnya harga BBM membuat pelaku usaha perikanan yang terdiri dari pemilik kapal, koperasi dan perusahaan menyiasati sistem operasional penangkapan ikan.

Misalnya, ujar dia, karena biaya operasional kapal ikan naik tinggi membuat pemilik kapal mengurangi volume keberangkatan kapal penangkap ikan dengan menggunakan sistem bergilir.

Sistem bergilir tersebut, lanjutnya, dapat membantu pemilik kapal menghemat biaya produksi tapi menekan ABK karena waktu bekerja menjadi tidak pasti, sehingga ABK menganggur dan tidak mendapatkan upah karena perjanjian kerja berlaku jika kapal telah meninggalkan pelabuhan.

Terkait dengan persoalan teknis yang mengemuka seperti salah sasaran, distribusi yang tidak lancar, penyelundupan, minimnya sarana dan prasarana dan permainan sejumlah oknum pihaknya meminta pemeritah membentuk tim pemantau.

"Selanjutnya pemerintah perlu merumuskan rencana aksi jangka pendek dan menengah untuk mengatasi ini dengan menghitung semua aspek dari hulu ke hilir agar masalah ini dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak berlarut-larut," kata Abdi.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko berjanji akan segera melakukan rapat dengan Kementerian ESDM untuk membahas kemungkinan adanya penetapan harga khusus solar bagi nelayan.

“Saya segera rapatkan dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), karena ini perlu kebijakan khusus,” kata Moeldoko setelah menerima Front Nelayan Bersatu (FNB), bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan BPH Migas di Jakarta, Rabu (20/7).

Moeldoko mengatakan produktivitas nelayan harus didukung. Untuk itu, ujar dia, bukan tak mungkin pemerintah akan memberikan harga khusus pada nelayan.

Meskipun begitu, dia mengakui, tidak mudah bagi pemerintah untuk memberikan harga khusus solar industri karena berkaitan dengan harga keekonomian atau pasar.

Baca juga: KSP janji awasi penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan kecil
Baca juga: KNTI minta nelayan tradisional dipermudah mendapatkan BBM bersubsidi
Baca juga: Anggota DPR: Nelayan dan pelaku UMKM tetap bisa beli BBM subsidi

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022