Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia mengenai pentingnya untuk segera mengantisipasi berbagai ancaman krisis ekonomi global yang berpotensi mempengaruhi stabilitas nasional.

"Menurut survei Bloomberg, tingkat risiko resesi Indonesia memang kecil, hanya 3 persen. Itu jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat 40 persen, Selandia Baru 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, dan China 20 persen. Namun, antisipasi terhadap potensi krisis ekonomi global tetap perlu dipersiapkan dari sekarang sehingga kita bisa mengantisipasi sejak dini berbagai kemungkinan yang terjadi," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut, dia pun menyampaikan sejumlah contoh keadaan di dunia saat ini yang berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional, seperti inflasi di Amerika Serikat, konflik antara Rusia dan Ukraina, serta potensi kemunculan ketegangan baru di Taiwan.

Bamsoet mengatakan Amerika Serikat telah mencatat tingkat inflasi tahunan mereka sebesar 9,1 persen pada Juni 2022 dan itu menjadi level tertinggi sejak tahun 1980-an. Bahkan, angka tersebut jauh di atas target inflasi Amerika Serikat yang berada di level 2 persen.

Di samping itu, tambah dia, ada pula kondisi perubahan iklim yang dapat mempengaruhi stabilitas di sektor pangan dan energi.

Baca juga: Miranda Goeltom sebut dunia akui kekuatan ekonomi Indonesia

Baca juga: Sri Mulyani waspadai potensi resesi yang menghantui Indonesia


"Kondisi dunia yang semakin dihadapi perubahan iklim juga turut memperluas kebijakan proteksionisme, terutama di sektor pangan dan energi. Untuk mengantisipasi-nya, kita harus segera mengintensifkan pertanian di dalam negeri sehingga tidak terlalu bergantung kepada impor. Misalnya, meningkatkan luas tanam sorgum di dalam negeri sebagai pengganti gandum ekspor," jelas Bamsoet

Dia pun menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia harus mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia. Sebagaimana proyeksi Energy Information Administration (EIA) pada awal April 2022 lalu, harga minyak mentah Brent untuk keseluruhan di tahun 2022 diperkirakan bisa mencapai 98 dolar AS per barel.

Harga itu, kata Bamsoet, jauh di atas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar 63 dolar AS per barel.

"Jika kenaikan harga minyak dunia semakin tinggi, kemampuan fiskal kita yang sudah cukup terbatas untuk menyediakan tambahan subsidi guna meredam potensi inflasi, menjadi semakin berat," ucap dia.

Baca juga: Bahlil ajak negara G20 ambil peran dukung pemulihan ekonomi global

Baca juga: C20 desak pemimpin G20 segera selesaikan krisis multidimensi global


Dengan demikian, menurut Bamsoet, pemerintah perlu mengantisipasi hal itu dengan mempertimbangkan perubahan skema pemberian subsidi energi, yakni dari yang selama ini berbasis pada komoditas dan bersifat terbuka diubah menjadi subsidi yang diberikan secara langsung kepada orang yang tidak mampu.

"Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per September 2021 sekitar 26,5 juta orang," ujar Bamsoet.

Sebelumnya, bahaya ancaman krisis ekonomi global ini pun telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) Persatuan Purnawirawan TNI AD, Jumat (5/8). Menurut dia, IMF dan World Bank memprediksi akan ada 66 negara yang ambruk ekonominya akibat perang dan krisis pangan.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022