Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ali Khasan mengatakan pendamping korban tindak pidana kekerasan seksual harus memiliki perspektif hak korban dan tidak bersikap diskriminatif atau bersikap negatif terhadap korban.

"Saat mendampingi, siapapun itu yang menjadi pendamping, itu memang harus responsif hak korban," kata Ali dalam acara Media Talk UU TPKS, yang diikuti di Jakarta, Selasa (9/8).

Dia menambahkan pendamping korban harus memiliki kompetensi penanganan korban tindak pidana kekerasan seksual yang berperspektif hak asasi manusia.

Ali juga meminta pendamping korban adalah sosok yang sudah mengikuti pelatihan penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual.

Dia menambahkan pendamping korban perlu mengutamakan upaya untuk melindungi dan memulihkan korban.

"Bagaimana menangani kemudian bagaimana melindungi memulihkan kurban, ini menjadi penting," katanya.

Dikatakannya, di dalam UU TPKS telah menekankan pentingnya pendamping korban, aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya untuk mengikuti pelatihan terpadu.

"Dengan demikian maka ada persamaan persepsi, baik oleh aparat penegak hukum maupun para pendamping dan para pihak yang terkait lain yang terkait dengan implementasi Undang-undang TPKS ini," katanya.

Dia juga mengatakan pihak-pihak yang berhak menjadi pendamping korban diantaranya adalah petugas LPSK, petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan atau psikolog.

"Yang bisa mendampingi korban di dalam undang-undang ini ditegaskan ada petugas LPSK, ada petugas UPTD PPA, kemudian ada tenaga kesehatan, psikolog dan seterusnya," katanya.

Baca juga: KPPPA: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah upaya pembaruan hukum
 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2022