Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dari tidak memproduksi nikel secara signifikan, sekarang Indonesia sudah menempati atau berkontribusi sekitar 70 persen produksi nikel dunia
Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman menilai Indonesia mampu menyerap berbagai dampak negatif dari tantangan dan gejolak global dengan cukup baik.

“Terutama karena dua faktor, pertama Indonesia merupakan net exporter commodity terutama commodity energy dan negara di kawasan Asia yang menjadi net exporter commodity tidak banyak,” katanya dalam Konferensi Pers Economic Outlook & Pemaparan Kinerja Citi Indonesia di Jakarta, Kamis.

Kendati menjadi net importer minyak dan bensin, lanjutnya, Indonesia menjadi net exporter yang besar untuk komoditas lain seperti batu bara, sawit dan logam dasar.

Fakor kedua yang dinilai Helmi mampu membuat posisi Indonesia relatig tangguh adalah peningkatan market share ekspor ke negera-negara besar dunia, terutama China.

Hal tersebut lantaran pada 5-7 tahun terakhir, investasi yang cukup besar masuk ke sektor logam dasar dan sejak 2020, investasi ke sektor logam dasar mulai berproduksi dan outputnya di ekspor ke Asia Utara terutama China.

“Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dari tidak memproduksi nikel secara signifikan, sekarang Indonesia sudah menempati atau berkontribusi sekitar 70 persen produksi nikel dunia,” ujarnya.

Pertumbuhan ekspor Tanah Air baik berupa Sumber Daya Alam maupun logam dasar, diibaratkan Citibank sebagai payung bagi perekonomian Indonesia di saat kondisi global sedang “hujan”.

Neraca perdagangan yang mengalami surplus, disebutnya menjadi penopang keseimbangan di pasar valas domestik. Sehingga, walaupun suku bunga di Amerika Serikat sedang naik dan terjadi capital outflow dari pasar obligasi beberapa negara berkembang di seluruh dunia, pasar valas Indonesia masih relatif stabil.

“Walaupun rupiah tetap depresiasi seiring depresiasi mata uang negara lain, namun keseimbangan pasar valas masih relatif terjaga karena faktor ekspornya kuat,” ucap Helmi.

Surplus perdagangan yang tinggi dinilainya juga memberikan payung untuk APBN dari sisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan PNBP Sumber Daya Alam.

Kondisi pasar valas yang cukup stabil dan penerimaan negara tersebut memberikan ruang bagi pemerintah untuk memperbesar subsidi energi. Sehingga, harga-harga energi di Indonesia tidak naik setinggi harga energi di banyak negara lain.

Ia pun menyimpulkan bahwa pemulihan aktivitas sektor swasta baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi, sejauh ini masih pulih dengan baik walaupun stimulus secara perlahan ditarik kembali dan inflasi yang masih terkendali.

“Walaupun inflasi naik, kenaikan inflasi relatif terbatas karena bisa diredam dan harga energi juga relatif tidak naik banyak,” ucap dia.

Baca juga: Ekonom prediksi ekonomi RI 2022 tumbuh lebih baik, capai 4,8 persen

Baca juga: Ekonom: Investasikan hasil "commodity boom" agar berdampak pada PDB RI

Baca juga: CEO Citi Indonesia respons pengumuman Citigroup keluar dari RI

 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022