Inflasi inti kami perkirakan dari 2,8 persen saat ini, kami perkirakan akan naik ke sekitar 3,5 persen di akhir tahun ini
Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman memperkirakan inflasi inti Indonesia akan naik menjadi 3,5 persen pada akhir tahun.

“Inflasi inti kami perkirakan dari 2,8 persen saat ini, kami perkirakan akan naik ke sekitar 3,5 persen di akhir tahun ini,” katanya dalam Konferensi Pers Economic Outlook & Pemaparan Kinerja Citi Indonesia di Jakarta, Kamis.

Kenaikan inflasi inti tersebut diprediksi sebagai akibat dari sektor bisnis dan jasa yang akan melakukan penyesuaian tarif yang selama ini tertunda akibat pandemi COVID-19.

“Perkiraan kami, inflasi inti selama 2 tahun pandemi sangat rendah karena banyak bisnis jasa yang tidak menyesuaikan harga karena aktivitas dan demand untuk jasa lemah sekali dan sekarang kita sudah memasuki masa normal, sehingga adjustmanet dari jasa yang selama 2 tahun ini tertunda akan kembali meningkat,” ucapnya.

Helmi berpendapat, menilai inflasi telah melewati puncaknya dan tidak lama lagi akan bergerak turun, namun inflasi inti masih akan terus bergerak ke atas. Sehingga, dalam waktu dekat Indonesia akan menghadapi tantangan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah kenaikan inflasi dunia yang sedang bergerak naik, terutama dalam 2 bulan terakhir yang kenaikannya cukup signifikan.

Meski inflasi inti diprediksi akan terus naik, Helmi berpendapat pemulihan ekonomi Indonesia akan terus berlanjut karena pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakan mampu menekan harga energi dan mengalokasikan dana untuk subsidi harga energi.

“Alokasi dana untuk subsidi (energi) dengan jumlah yang signifikan, perkiraan kami akan tetap dipertahankan sehingga pemulihan ekonomi bisa berlanjut,” ujar dia,

Selain itu, Citi juga memperkirakan harga minyak mentah pada akhir tahun ini akan turun ke kisaran 70 dolar AS per barel. Hal tersebut lantaran Citi mulai melihat pertumbuhan demand untuk minyak dunia yang mulai melemah di negara maju termasuk Amerika Serikat. Selain itu, dana pengelolaan investor global yang dialokasikan ke pasar komoditi sudah mulai bergerak turun,

“Terlihat ketika terjadi konflik geopolitk di Februari, terlihat alokasi dana investor global ke pasar komiditi meningkat tajam, namun sekarang sudah mulai bergerak turun. Sehingga harga minyak kembali bisa menurun,” jelasnya.

Namun demikian harga batu bara yang menjadi sektor andalan Indonesia diprediksi Citi juga akan mengalami penurunan lantaran China yang menjadi salah satu pasar ekspor Indonesia mulai menggenjot produksi domestik batu bara. Meski begitu, penurunan harga batu bara masih berada di level yang cukup tinggi relatif terhadap sebelum terjadinya konflik. Terutama suplai gas dari Rusia ke Eropa yang masih terganggu dan memaksa negara di Eropa mengaktifkan kembali energi yang bersumber dari batu bara.

Tak hanya soal inflasi, Helmi menyebut Indonesia juga harus menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas eksternal yakni stabilitas nilai tukar. Menurutnya, selama masa pandemi yang mengakibatkan terjadinya capital outflow dari pasar obligasi, namun pasokan valas dalam negeri masih baik karena ditopang devisa hasil ekspor. Cadangan devisa pada Juli mulai bergerak turun, meskipun neraca perdagangan pada Juni surplus cukup besar.

“Kami rasa ke depannya penting memperhatikan diferensial suku bunga antara Rupiah dan Dolar terutama bunga Dolar di Luar Negeri,” tuturnya.

Ia pun memperkirakan Bank Indonesia akan menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate jelang akhir tahun.

“Suku bunga acuan Bank Indonesia yang tujuh hari kami perkirakan akan mulai bergerak naik, kami perkirakan naik 2 kali 25 basis poin menjelang akhir tahun 2022,” kata Helmi.

Baca juga: Citibank: Indonesia cukup baik serap dampak negatif gejolak global
Baca juga: Laba bersih Citibank capai Rp750 miliar di Semester 1, naik 63 persen
Baca juga: Ekonom prediksi ekonomi RI 2022 tumbuh lebih baik, capai 4,8 persen

 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022