Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan Presiden Joko Widodo menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat turun menjadi sebesar 2,8 persen.

"Tadi Presiden menyampaikan kepada kami, kepala lembaga, pemerintah berkeinginan kuat defisit (menjadi) 2,8 persen, di bawah 3 persen dari standar," kata Bambang Soesatyo di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Jumat.

Bamsoet menyampaikan hal tersebut seusai bertemu Presiden Jokowi dan juga para kepala lembaga tinggi negara lainnya yaitu Ketua DPR Puan Maharani, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Isma Yatun, Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin, dan Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata.

Diketahui berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1/2020 atau UU No. 2/2020 defisit fiskal Indonesia harus kembali ke 3 persen pada 2023.

Defisit APBN pada 2020 mencapai 5,78 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sementara defisit APBN pada 2021 mencapai 4,65 persen dari PDB.

Salah satu penyebab tingginya defisit adalah karena pemberian subsidi BBM yang mencapai Rp502 triliun.

"Presiden menyampaikan dan menyarankan perlu dievaluasi subsidi ini apakah bentuknya tidak harus melalui subsidi minyak karena di lapangan penyalahgunaan cukup tinggi, dan siapa yang bisa menjamin? Karena orang-orang menggunakan satpam-nya, supi-rnya untuk menggunakan fasilitas subsidi sementara kemampuan ekonominya tidak masuk dalam kategori patut menerima subsidi," ungkap Bambang.

Bambang menyebut Presiden Jokowi jadi masih mempertimbangkan dan menghitung apakah subsidi BBM akan diubah menjadi subsidi dalam bentuk bantuan langsung atau tunai ke masyarakat.

"Tapi tentu untuk mengurangi beban apalagi tahun depan Presiden menyadari akan kembali ke 3 persen defisit, namun seluruh pembantu presiden, para menteri, sedang menghitung karena ini juga sudah masuk tahun politik, takutnya ada yang gosok-gosok jadi persoalan lain," ucap Bambang.

Apalagi ditambah dengan ancaman krisis pangan dan energi di dunia dengan 66 negara terancam bangkrut.

"Presiden menyampaikan penting bagi kita pejabat negara memahami dan mewaspadai dan mengantisipasi karena nanti masalahnya berangkai, dari inflasi dari cadangan devisa dan dari besaran subsidi yang memberatkan APBN. Kita beruntung termasuk negara yang risiko tidak terlalu besar dibanding dari negara lain tapi kita jangan terlena," tambah MBabang.

Presiden Jokowi dalam pertemuan tersebut membahas mengenai masalah ekonomi global dan domestik, termasuk anggaran subsidi di APBN yang dinilai terlalu besar karena sudah mencapai Rp502 triliun.

"Tapi apakah angka Rp502 triliun itu terus kuat kita pertahankan? kalau bisa Alhamdulilah artinya rakyat tidak terbebani tapi kalau APBN tidak kuat bagaimana ? negara lain harga BBM sudah Rp17 ribu, Rp18 ribu, naik dua kali lipat semuanya ya memang harga keekonomian-nya seperti itu," kata Presiden.

Presiden Jokowi menjelaskan pemerintah harus membelanjakan subsidi hingga Rp502 triliun untuk menahan harga BBM, khususnya BBM subsidi, agar tidak membebani daya beli masyarakat.

"Angka subsidi kita memang terlalu besar, cari negara yang subsidinya sampai Rp502 triliun, karena kita harus menahan harga pertalite, gas, listrik, termasuk pertamax, gede sekali," ujarnya.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022