Jakarta (ANTARA) - Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus menjadi momentum yang sakral bagi bangsa Indonesia, terutama kala lagu “Indonesia Raya” bergema selama upacara pengibaran bendera.

Baca juga: "Kode QR Art". cara baru mengenalkan pencipta lagu kebangsaan

Dalam momentum-momentum khusus, lagu tersebut juga diperdengarkan dan dinyanyikan sebagai simbol penghormatan atas identitas nasional negara.

Namun, mengapa orang-orang yang melantunkan lagu kebangsaan di tempat-tempat berbeda dapat saling terhubung, meskipun mereka tak saling kenal?

Ilmuwan sosial Benedict Anderson dalam bukunya, “Imagined Communities”, mengambil contoh lagu kebangsaan yang terwujud dalam “komunitas terbayang” untuk memahami nasionalisme.

Ketika menembangkan lagu kebangsaan seperti “Indonesia Raya”, menurutnya, kita terhubung dengan orang lain pada saat bersamaan melalui sepenggal nada yang dibayangkan. Itulah yang disebutnya sebagai keserempakan atau unisonance.

Baca juga: Addie MS pimpin penumpang MRT menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya

Meminjam istilah Anderson, sejarawan dari Universitas Padjadjaran R.M. Mulyadi mengatakan lagu-lagu bertema nasionalisme memberikan bayangan tentang keindonesiaan melalui medium suara (audio). Menurutnya, musik memiliki kekuatan yang besar dalam membangun kesadaran nasionalisme.

“(Kekuatannya) besar, ya, terutama pada saat medium audio dan televisi segala macam belum beragam seperti sekarang. Itu kekuatan utamanya adalah di musik,” ujar dosen yang akrab disapa Lucky itu kepada ANTARA beberapa waktu lalu.

Lucky mencontohkan bagaimana instrumen “Indonesia Raya” yang dibawakan pertama kali oleh penciptanya, W.R. Supratman, pada Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 turut membangun kesadaran nasionalisme itu. Dengan demikian, pembayangan keindonesiaan tak hanya melibatkan aspek visual, seperti bendera misalnya, melainkan juga aspek audio.

Baca juga: TransJakarta akan putar lagu Kebangsaan Indonesia Raya sambut HUT RI

“Ini suatu kecerdasan daripada bangsa Indonesia, khususnya pemuda di dalam angkatan 28, mengenai dimunculkannya bayangan keindonesiaan melalui audio. Dengar suara itu (‘Indonesia Raya’), ‘Oh, kita Indonesia’,” imbuhnya.

Masa pra-kemerdekaan hingga revolusi diwarnai lagu-lagu yang liriknya bertema perjuangan atau kepahlawanan hingga pemujaan terhadap tanah air, sebut saja seperti “Halo-Halo Bandung”, “Bangun Pemudi-Pemuda”, “Bagimu Negeri”, “Rayuan Pulau Kelapa”, dan seterusnya.

Ketika lagu nasional dilantunkan kembali di masa sekarang dalam situasi tertentu, kadangkala dapat memunculkan rasa haru yang seolah-olah magis.

Lagu-lagu tersebut tidak hanya menggugah mereka yang saat ini berada dalam wilayah Indonesia, melainkan juga bagi mereka yang jauh dari tanah air, seperti pengalaman yang dibagikan oleh musisi Adra Karim saat menemani rombongan liga tari Univesitas Indonesia yang secara spontan menyanyikan “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki setelah berkesempatan tampil di Eropa.

Baca juga: Pendukung Indonesia diimbau agar hormati lagu kebangsaan Malaysia

“Ketika itu semua orang menonton tiba-tiba berhenti beraktivitas. Mereka semua nyanyinya sambil menangis karena mereka juga sudah dua sampai tiga minggu nggak pulang (ke Indonesia) dan waktu itu internet nggak segampang seperti sekarang, dan itu rasanya beda sekali,” ceritanya.

Terkait karya Ismail Marzuki, Adra sendiri pernah membuat aransemen rangkaian lagu karya komponis itu dalam berbagai pendekatan. Sebagian besar karya Ismail Marzuki, sebagai contoh, baginya masih relevan untuk terus didaur ulang.

Adra, yang juga merupakan Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), berpandangan bahwa bayangan tentang keindonesiaan melalui lagu bernuansa patriotik juga kadangkala hadir seperti nostalgia dalam arti sebagai pengingat tentang siapa kita dan tentang bagaimana para pahlawan pada akhirnya bisa membawa Indonesia ke titik kemerdekaan yang dinikmati hari ini.

Etnomusikolog sekaligus Direktur Musik, Film, dan Animasi Kemenparekraf Mohammad Amin memandang bahwa lagu bertema nasionalisme tak melulu diasosiasikan dengan lagu bergaya mars serta himne, tetapi juga dapat mengambil bentuk dalam musik pop, rock, bahkan hip hop sekalipun.

Amin memberi contoh lagu-lagu pop era kini seperti “Bendera” dari Cokelat serta “Bung Hatta” dari Iwan Fals yang juga dapat disebut sebagai lagu bertema nasionalisme.

“Karena itu adalah lagu-lagu yang membangkitkan rasa kebangsaan kita dan satu sisi terkadang banyak juga lagu-lagu yang mempertanyakan atau mengkritisi rasa kebangsaan kita atau nasionalisme kita,” katanya.

Lagu-lagu bertema nasionalisme yang dibungkus dalam budaya populer juga pernah digunakan pemerintahan Orde Baru. Dalam penelitiannya tentang grup musik Koes Plus, Lucky memperlihatkan bagaimana lagu-lagu yang digawangi grup musik itu seperti “Nusantara” yang terdiri dari delapan lagu berjudul serupa serta beberapa lagu lainnya memberi gambaran mengenai nasionalisme dalam cara yang halus.

Baca juga: Saung angklung Udjo iringi lagu kebangsaan Aljazair

“Tapi itu halus, ya, kata-katanya saja ‘nusantara’ tidak ‘Indonesia’. Misalnya, lagu ‘Kolam Susu’ saja kan tidak menampakkan (eksplisit) bahwa itu suatu lagu yang bersifat nasionalisme, itu seperti lagu biasa tetapi memberikan gambaran mengenai alam Indonesia yang damai,” terangnya.

“Tetapi ini kan yang selalu digembar-gemborkan Orde Baru tentang kekayaan alam, kedamaian, segala macam. Itu adalah suatu gambaran yang ingin diberikan Orde Baru mengenai Indonesia,” imbuh Lucky.

Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosio-politik yang berkembang saat itu. Sebagaimana dikatakan Amin bahwa musik dapat memberikan gambaran atas kondisi sosio-politik tertentu, yang pada gilirannya juga turut dipengaruhi oleh ideologi politik dari rezim yang berkuasa.

Namun, analogi tanah air dengan kemolekan alam atau kampung halaman tak selamanya digunakan para pelaku musik untuk menerjemahkan Indonesia.

Ambil contoh lagu “Seperti Rahim Ibu” dari Efek Rumah Kaca. Dalam lagu itu, Indonesia justru dibayangkan seperti “rahim ibu” alih-alih hanya “tanah air”. Frasa “rahim ibu” menyiratkan bahwa Indonesia bukan hanya tentang keindahan alam atau keragaman budaya semata, namun juga tentang “merawat kehidupan” serta “menguatkan yang rapuh”.

Ada pula lagu “Merdeka”, masih dari Efek Rumah Kaca, yang mempertanyakan makna kemerdekaan. Pertanyaan itu tampak jelas dari baris lirik pertamanya, “Darat, laut, udara, milik siapa? Hajat hidup dan harkatnya untuk siapa?”.

Kendati lagu-lagu yang mempertanyakan keindonesiaan hingga kemerdekaan mungkin tak sepopuler lagu-lagu yang membawa jargon nasionalisme secara eksplisit, akan tetapi hal ini menjadi menarik jika kita kembali pada gagasan Anderson, sebagai pengingat anggota “komunitas terbayang” bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang absolut. Pemaknaan atas Indonesia dan keindonesiaan akan selalu berkembang seiring bertambahnya usia bangsa Indonesia.



Baca juga: Cara Karina Salim & Atiqah Hasiholan ajarkan makna kemerdekaan

Baca juga: Indy Barends rindu rayakan HUT RI dengan kegiatan seru bareng keluarga

Baca juga: HUT ke-76, Mike Ethan harap industri film jadi lokomotif ekonomi RI


Copyright © ANTARA 2022