Singapura/Tokyo/Hong Kong (ANTARA) - Mata uang safe-haven dolar AS mencapai tertinggi satu minggu pada perdagangan Selasa sore, setelah data ekonomi global yang lemah, khususnya di China, menyalakan kembali kekhawatiran resesi global dan membebani mata uang yang ramah risiko seperti dolar Australia.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya mencapai puncak 106,81 pada awal perdagangan Eropa, mendapatkan kembali semua kerugiannya dari minggu lalu ketika data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan mengirim investor keluar dari dolar dan kembali ke aset-aset ramah risiko.

Indeks dolar terakhir naik 0,12 persen di 106,6.

"Gambaran pertumbuhan AS masih baik, tetapi gambaran global secara keseluruhan tetap rapuh, mengingat kekhawatiran tentang China, dan itu telah meredam sentimen risiko dan merugikan Aussie dan beberapa mata uang berisiko pasar berkembang," kata Ahli Strategi Mata Uang di Bank of Singapore, Sim Moh Siong.

Bank sentral China pada Senin (15/8/2022) secara tak terduga memangkas suku bunga utama untuk mencoba menghidupkan kembali permintaan kredit guna mendukung ekonomi yang dilanda COVID setelah serangkaian rilis data ekonomi yang lemah untuk Juli.

Dolar Australia turun 0,44 persen menjadi 0,699 dolar AS pada Selasa, turun kembali di bawah level simbolis 0,7 dolar AS. Hubungan perdagangan dekat Australia dengan China berarti mata uangnya kadang-kadang diperlakukan oleh para pedagang sebagai proksi likuid untuk yuan China.

Baca juga: Rupiah ditutup melemah jelang HUT RI, dipicu aksi ambil untung

Dolar AS naik setinggi 6,84146 terhadap yuan yang diperdagangkan di luar negeri, level yang terakhir terlihat pada pertengahan Mei.

Pergerakan kembali ke dolar yang aman juga merugikan euro, yang turun 0,18 persen menjadi 1,0142 dolar, dan sterling, yang terakhir diperdagangkan di 1,2026 dolar, turun 0,23 persen hari ini.

Dolar juga menguat 0,3 persen terhadap sesama safe-haven yen Jepang menjadi 113,7 yen.

Indeks dolar turun serendah 104,63 minggu lalu untuk pertama kalinya sejak akhir Juni setelah meluncur dari tertinggi dua dekade di 109,29 pada pertengahan Juli, karena pasar mengurangi taruhan untuk pengetatan Fed yang agresif di tengah tanda-tanda pendinginan dalam ekonomi dan inflasi.

Namun dalam beberapa hari terakhir, beberapa pembuat kebijakan Fed telah berbicara tentang perlunya kenaikan suku bunga lanjutan.

"Para pejabat Fed tidak punya pilihan selain terdengar tangguh dalam menghadapi pasar tenaga kerja yang sangat, sangat ketat dan inflasi yang terlalu tinggi," kata Kepala Strategi Valas Societe Generale, Kit Juckes, dalam sebuah catatan penelitian.

"Sulit untuk membangun kasus yang menarik untuk menjual dolar di dunia itu."

Baca juga: Dolar Australia dan Kiwi jatuh setelah pemulihan China tertatih-tatih



 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022