Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung meminta penghapusan tarif pungutan ekspor sawit diperpanjang.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghapus tarif ekspor produk kelapa sawit mulai 15 Juli-31 Agustus 2022 untuk mendorong percepatan ekspor terutama peningkatan harga tandan buah segar (TBS) di level petani sekaligus berkontribusi terhadap penurunan harga Crude Palm Oil (CPO) global.

"Sudah sewajarnya pemerintah tidak memberlakukan dulu pungutan ekspor sawit dalam waktu dekat, atau setidaknya memperpanjang periode relaksasi ini. Saya berpendapat supaya PE (pungutan ekspor) ini sementara dikesampingkan dulu sampai harga TBS Petani di atas Rp3.000/kg," kata Gulat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Menurut Gulat, relaksasi yang dilakukan pemerintah sebenarnya ditujukan agar ekspor sawit kembali bergairah. Kebijakan relaksasi diharapkan bisa membuat tangki-tangki penyimpanan yang dimiliki pabrik pengolahan CPO bisa memiliki ruang lebih longgar setelah ekspor kembali dilakukan.

Dengan demikian, ada ruang yang cukup bagi pabrik untuk kembali menyerap tandan buah segar (TBS) sawit petani dengan harga yang lebih baik.

Sayangnya, relaksasi yang berlaku hanya selama dua minggu itu belum bisa dirasakan dampaknya karena masa penerapannya yang dinilai terlalu singkat.

Menurut Gulat, butuh waktu lebih panjang agar satu kebijakan bisa memberikan dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat maupun pelaku usaha.

"Pemulihan ini membutuhkan waktu dan pemerintah harus hadir," imbuhnya.

Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai kebijakan pungutan sawit tampaknya perlu dievaluasi.

Pasalnya, salah satu akar masalah terkait pungutan sawit adalah pemanfaatannya yang tidak tepat sasaran.

"Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," kata Nailul.

Berdasarkan Kepmen ESDM No. 258K/10/DJE/thn 2016 Tentang Penetapan Badan Usaha BBN dan alokasi besaran volumenya untuk pengadaan BBN jenis biodiesel di PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, alokasi dana sawit untuk kepentingan biodiesel hanya dirasakan oleh segelintir perusahaan saja yang dipilih lewat skema penunjukan langsung.

Di sisi lain, pemanfaatan dana sawit untuk pengadaan biodiesel juga dinilai tak sejalan dengan semangat pengembangan industri sawit sebagai tujuan awal diterapkannya dana pungutan ekspor sawit ini.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali. Kacau balau," katanya.

Pemerintah menghapus tarif pungutan ekspor kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya mulai 18 Juli-31 Agustus 2022.

Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 di mana tarif pajak pungutan ekspor pada seluruh produk dari tandan buah segar (TBS), kelapa sawit, produk sawit, bungkil, palm oil, used cooking oil, dan crude palm oil menjadi Rp0 per metrik ton.

Setelah tanggal 31 Agustus 2022, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak ekspor CPO dan produk turunannya bersifat progresif atau menyesuaikan dengan harga di pasar global.

Baca juga: Pemerintah diminta evaluasi penerapan dana pungutan ekspor sawit

Baca juga: Teten: Petani sawit senang peroleh nilai tambah minyak makan merah

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022