Jakarta (ANTARA) - Perancang busana Khanaan Shamlan berharap ketersediaan serta ragam pilihan bahan baku atau kain untuk membuat busana muslim (modest fashion) di Indonesia bisa lebih banyak lagi.

Ia mengatakan produk dari jenama Khanaan banyak menggunakan kain sutra, namun ketersediaan jenis kain tersebut mayoritas datang dari China.

“(Bahan) lokal sebetulnya bagus juga, kalau kita terkenal dengan rayonnya. Mungkin beberapa teman desainer yang tadinya banyak pakai sutra, sekarang menjadi beralih ke rayon, bagus juga, sih, cuma alangkah baiknya ketersediaan bahan atau opsi bahan untuk desain itu lebih banyak lagi,” kata Khanaan dalam acara “Road To Jakarta Muslim Fashion Week” di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa.

Di sisi lain, sebagai jenama yang konsisten dengan batik atau wastra, ia juga ingin menggunakan kain-kain yang dibuat langsung oleh para perajin daerah agar mereka tetap memiliki pemasukan.

Baca juga: Material baju sustainable kian diminati

Senada, desainer Ivan Gunawan mengatakan bahwa para perancang busana mengalami kesulitan dalam mencari bahan baku. Saat ini pemain jenama fesyen semakin bertumbuh, akan tetapi bahan baku yang ada justru itu-itu saja.

“Saya pernah sempat beli di China, tapi barang yang hadir dari China nanti ada ‘lampu merah, lampu hijau, lampu kelap-kelip’ (hambatan), jadi karya kami juga akhirnya tersendat. Jadi kalau saya, sih, memang 90 persen bahan dasar itu dari lokal,” katanya.

Ivan mengatakan bahan baku yang digunakan para jenama fesyen kemungkinan relatif sama, tetapi bahan-bahan unik di Indonesia pun dapat dikatakan masih sangat kurang.

Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan wastra, namun sayangnya harga satu lembar kain wastra yang dibuat dengan tangan oleh perajin masih relatif mahal sehingga biasanya hanya konsumen kalangan menengah atas yang mampu membeli.

“Kalau kita menggunakan wastra, batik saja selembar sudah Rp3,5 juta, songket selembar Rp6 juta sampai 7 juta, yang bisa membeli karya kita hanya di kalangan menengah ke atas, sedangkan market kita ini dari kalangan A sampai Z,” kata Ivan.

Ia menekankan bahwa para pelaku bisnis fesyen juga harus menargetkan pasar untuk konsumen menengah mengingat luasnya komunitas muslim yang ada di Indonesia.

Sementara itu, desainer Ria Miranda juga mengalami kesulitan yang serupa terkait ketersediaan bahan baku. Jenama Ria Miranda sendiri konsisten dengan “Minang heritage”. Jenama ini menggunakan bahan yang dibuat perajin di Sumatera Barat, namun karena berbagai hambatan pada akhirnya jenama beralih ke kain printing.

“Sebenarnya ingin banget bisa angkat songket asli dan tenun asli dari berbagai daerah, cuma koneksinya belum ada ke daerah masing-masing,” kata Ria.

Baca juga: Mendag: Saatnya pakaian muslim Indonesia "go global"

Baca juga: Tips bergaya "modest" bagi si "plus size"

Baca juga: Rayakan HUT RI, Saskara rilis "Werni"

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022