Jakarta (ANTARA) - Semua pihak didesak untuk memperkuat kolaborasi dan kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim dan dampak buruk perubahan iklim, kata Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN), Kementerian Luar Negeri Indonesia, Dr Yayan GH Mulyana.

“Kita harus memperkuat kolaborasi dan kerja sama di antara para peserta dengan maksud untuk mengatasi tantangan kita bersama. Kawasan Laut China Selatan jelas tidak kebal terhadap perubahan iklim dan dampak buruknya, seperti naiknya permukaan air laut dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir,” kata Yayan GH Mulyana saat membuka The 31st Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea di Jakarta, Rabu.

Banyak kota pesisir di Asia berisiko dari kenaikan permukaan laut yang ekstrem. Antara 1989-2014, bencana permukaan laut yang ekstrem menyebabkan kerugian 11,7 miliar dolar AS, 156 kematian dan mempengaruhi 13,4 juta orang.

“Untuk mengatasi masalah ini dengan benar, kita perlu memahami bahwa kita berada di kapal yang sama dan harus bekerja sama untuk mengubah masa depan yang lebih baik,” kata Yayan.

Perubahan iklim dan pandemi telah mengganggu rantai pasokan global yang juga memperlambat ekonomi global.

Karena sepertiga perdagangan global melalui Laut China Selatan, kita perlu mengatasi tantangan ini, kita harus bekerja sama memaksimalkan penggunaan sains, data, teknologi, dan inovasi, katanya.

“Dalam konteks ini, Pertemuan Kelompok Kerja ke-17 tentang Studi Pasang Surut dan Perubahan Permukaan Laut dan Dampaknya terhadap Lingkungan Pesisir di Laut China Selatan dan Lokakarya ke-31 tentang Mengelola Potensi Konflik di Laut China Selatan menyediakan platform penting untuk berbagi pengalaman dan proposal proyek tentang studi pasang surut dan perubahan muka air laut serta dampaknya terhadap lingkungan pesisir di Laut China Selatan,” ujarnya.

Dalam konteks ini pula, panitia ingin mengundang semua peserta untuk mengunjungi “Taman Alam Mangrove”, di Jakarta Utara sebagai contoh bagaimana pihak swasta dan Pemerintah Jakarta aktif bergandengan tangan dalam mengatasi dampak lahan penurunan muka air laut dan kenaikan muka air laut dengan melindungi wilayah pesisir dari abrasi yang agresif, kata Mulyana.

Selain itu, semua pihak harus terus memupuk kebiasaan berdialog dan berkolaborasi untuk membuka jalan bagi generasi mendatang.

“Dengan perubahan lanskap sosial dan politik yang cepat, cara terbaik untuk mencegah potensi konflik adalah melalui dialog dan komunikasi yang konstan dan berkelanjutan. Sehingga kita dapat menciptakan solusi bersama,” katanya.

Baca juga: Dua bencana berbeda bentuk nyata perubahan iklim tingkat lokal
Baca juga: BRIN: Hortikultura-perkebunan berpotensi besar atasi perubahan iklim
Baca juga: Jakut dorong warga jadi inisiator pengendalian dampak perubahan iklim


Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022