Jakarta (ANTARA) -
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mengapresiasi lahirnya buku 'NKRI Harga Mati' karya Profesor Muhammad Jafar Hafsah.

"Melalui buku ini, cakrawala pandang terhadap gagasan negara kesatuan dikonstruksikan dari berbagai perspektif," kata Bambang Soesatyo dalam keterangannya diterima di Jakarta Kamis.

Termasuk di dalamnya lanjut dia perspektif rujukan global, sudut pandang historis, faktor geografis dan demografi, landasan konstitusional, rujukan sistem pemerintahan dan pengelolaan sumberdaya alam, aspek sosial budaya, serta eksistensi partai politik.

"Kita patut bersyukur setelah melewati usia 77 tahun kemerdekaan, Indonesia masih tetap tegak berdiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena faktanya, tidak semua negara mampu mempertahankan keutuhan negaranya," kata Bamsoet ketika peluncuran buku 'NKRI Harga Mati'.

Baca juga: Bamsoet ajak seluruh elemen bangsa teguhkan arah cita-cita Indonesia

Misalnya, menurut dia Uni Soviet terpecah menjadi 15 negara menjelang 70 tahun usia negara itu, atau dari 1922 hingga 1992. Begitu juga, Yugoslavia pecah menjadi 7 negara menjelang 74 tahun usia negara tersebut atau dari 1918 hingga 1992.

Bamsoet mengatakan merujuk aspek yuridis, gagasan negara kesatuan merupakan pengejawantahan rumusan sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.
 
Gagasan itu kemudian dijabarkan secara tersurat dan ditegaskan dalam rumusan UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 Ayat (1), menyatakan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
 
"Semangat dan cita-cita mewujudkan negara kesatuan juga termanifestasikan pada rumusan pasal 18 Ayat (1) yang menyatakan NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang," jelas Bamsoet.
 
Dia menjelaskan frasa 'dibagi atas' dan bukan 'terdiri atas' menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan, di mana kedaulatan negara berada di pusat. Hal itu berbeda dengan frasa terdiri atas, yang cenderung merujuk pada konsep federalisme, di mana kedaulatan berada di tangan masing-masing negara bagian.
 
"Sejarah memang mencatat, Indonesia pernah beralih menjadi federalisme sejak pemberlakuan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949," ucapnya.
 
Namun lanjut dia bentuk federalisme ternyata tidak menjamin terwujudnya stabilitas politik, tidak mampu mengelola kemajemukan antar daerah, serta tidak mampu menjawab berbagai persoalan kebangsaan yang mengemuka pada saat itu.

"Sehingga pada 17 Agustus 1950, para pendiri bangsa bersepakat untuk kembali pada bentuk negara kesatuan. Diperkuat kembali dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959," kata dia.
 
Menurut dia setelah melampaui dinamika kesejarahan, komitmen untuk mempertahankan NKRI tidak pernah tergoyahkan.
 
Hal itu dibuktikan ketika amendemen terhadap Konstitusi akan bergulir, MPR telah membangun beberapa kesepakatan dasar, salah satunya adalah, bahwa perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, dilakukan dengan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 
"Kesepakatan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa bentuk negara kesatuan adalah legasi kesejarahan yang tidak boleh diingkari, yang telah ditetapkan sejak berdirinya negara Indonesia. Bentuk negara kesatuan dipandang mampu mewadahi karakteristik bangsa Indonesia yang sangat majemuk dari berbagai aspek dan dimensi," ujarnya.

Baca juga: MPR minta Polri usut tuntas pembunuhan Letkol Inf Purn. Muhammad Mubin
Baca juga: Bamsoet: Sarinah pusat etalase UMKM sekaligus ikon wajah Indonesia

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2022