Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyebutkan pemanfaatan teknologi pencampuran bahan bakar (co-firing) batu bara dengan limbah biomassa di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan mempercepat transisi energi di Indonesia.

"(Pemanfaatan) teknologi (co-firing) ini menegaskan komitmen Indonesia untuk mempercepat target net zero emission (NZE) pada 2060. Apalagi, selama ini PLTU merupakan salah satu penyumbang emisi CO2 terbesar," katanya saat membuka webinar "Coal Biomass Coforing Technologies to Accelerate Energy Transitions" sebagai bagian dari rangkaian pertemuan Energy Transition Working Group (ETWG)-3, di Bali.

Dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa, Ridwan mengatakan teknologi co-firing akan memanfaatkan limbah biomassa sebagai substitusi parsial batu bara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik.

Terlebih, menurut dia, biomassa dapat diperoleh dari beragam bahan baku seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian. "Pemanfaatan limbah biomassa dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri," jelasnya.

Demi meningkatkan akses pasar dan kualitas produk, pemerintah serius merampungkan Standar Nasional Indonesia (SNI) pelet biomassa untuk pembangkit listrik. "Cangkang sawit, serbuk gergaji, dan serpihan kayu masih dalam proses di Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk ditetapkan sebagai SNI," sambung Ridwan.

Sementara itu, tekad pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan co-firing biomassa juga mempertimbangkan hasil pemetaan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM.

Baca juga: Pulau Jawa punya potensi lahan kering untuk biomassa 916 ribu hektare

Kajian tersebut menyebutkan potensi biomassa di Indonesia untuk bahan baku co-firing cukup menjanjikan. Tercatat, limbah dari hutan memiliki potensi sebesar 991 ribu ton (eksisting), serbuk gergaji 2,4 juta ton, serpihan kayu 789 ribu ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tangga 68,5 juta ton.

Kendati begitu, Ridwan mengingatkan implementasi co-firing biomassa pada PLTU memiliki tantangan berat. Salah satu kendalanya adalah munculnya berbagai masalah teknis pada boiler pembangkit listrik dan feeding equipment yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik batu bara dan biomassa.

Guna mengatasi hal tersebut, sambung Ridwan, Pusat Pengujian Mineral dan Batubara atau tekMIRA Kementerian ESDM mempunyai solusi dengan mengintegrasikan co-firing biomassa dengan teknologi pirolisis yang mampu menghasilkan arang biomassa yang memiliki karakteristik hampir sama dengan batu bara.

Penerapan co-firing biomassa juga sejalan dengan pesan tiga pilar transisi energi di forum Presidensi G20.

"Co-firing biomassa ini erat kaitannya dengan isu teknologi dan saya yakin (pembahasan) teknologi ini punya peran penting dalam mewujudkan akses energi di masyarakat serta mereduksi emisi," ujar Chair of ETWG Yudo Dwinanda Priaadi pada kesempatan yang sama.

Baca juga: KemenESDM: Program subtitusi biomassa dongkrak bauran EBT 1,8 persen

Baca juga: PLN: Uji coba biomassa cangkang pada PLTU capai 100 persen


Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022