Jakarta (ANTARA) - Koordinator Advokasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti mengatakan penyelesaian terhadap kasus kekerasan seksual harus melalui sistem peradilan.

Hal itu diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mewajibkan penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual harus melalui proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak, kata Ratna dalam acara "Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Berpihak kepada Korban" di Jakarta, Selasa.

"Di dalam Undang-Undang TPKS itu, disebutkan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak," kata Ratna.

Khusus untuk pelaku anak, lanjutnya, diberlakukan sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karena itu, katanya, penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui cara-cara perdamaian tidak dapat dilakukan lagi.

"Tidak bisa lagi penyelesaian itu, misalnya selama ini kan dengan damai, secara kekeluargaan, atau secara adat, itu tidak bisa lagi berlaku seperti itu," tegasnya.

Baca juga: KPPPA fasilitasi pemulihan korban pelecehan seksual suporter bola

Pihaknya juga meminta masyarakat tidak lagi menoleransi praktik-praktik pemaksaan perkawinan yang kerap terjadi.

"Kultur masyarakat kita yang masih menoleransi bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, misalnya pemaksaan perkawinan. Perkawinan anak itu salah satu bentuk dari pemaksaan perkawinan. Lalu juga perkawinan korban dengan pelaku, jadi memaksa korban untuk menikah dengan pelaku kekerasan seksual. Itu juga termasuk pemaksaan perkawinan," jelasnya.

Aktivis perempuan itu menjelaskan UU TPKS juga mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang sudah diatur dalam KUHP, seperti perkosaan, persetubuhan terhadap anak, pornografi anak, dan perbuatan cabul.

Meskipun perbuatan-perbuatan tersebut sudah termuat dalam KUHP, tambahnya, penanganan kasusnya harus mengikuti ketentuan di dalam UU TPKS.

"Meskipun ancaman pidananya itu tetap berlaku di KUHP, tetapi semua hak-hak korban, termasuk proses hukum acaranya, itu tunduk di bawah UU TPKS. Jadi, alat buktinya itu tidak bisa lagi hanya visum et repertum misalnya, tapi bisa juga hasil keterangan psikolog klinis, juga hasil pemeriksaan forensik, rekam medis dan juga barang bukti. Itu juga adalah alat bukti," ujar Ratna.

Baca juga: YKP: Media berperan penting kawal proses hukum kasus kekerasan seksual

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022