Jakarta (ANTARA News) - Keberadaan pasar tradisional yang menjadi tumpuan ekonomi rakyat kelas bawah dan pelaku usaha mikro kian tergusur, sementara pasar moderen kian menjamur bahkan hingga ke pedesaan.

Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah pasar tradisional menurun sebesar 8,1 persen sepanjang 2011. Berbanding terbalik dengan pasar modern yang tumbuh 31,4 persen pada periode yang sama.

Program revitalisasi pasar tradisional yang tengah digalakkan Kementerian Perdagangan mungkin salah satu langkah yang tepat saat ini dalam upaya mempertahankan pasar yang menjadi penopang ekonomi rakyat kelas bawah itu.

Kementerian Perdagangan telah menganggarkan Rp400 miliar untuk revitalisasi pasar tradisional tahun ini, dan Mendag Gita Wirjawan mengatakan dana itu akan ditingkatkan pada tahun depan.

Lalu, bagaimana agar pasar tradisional tetap hidup, berkembang, dan berfungsi maksimal? Berikut wawancara khusus ANTARA News dengan pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, tentang keberadaan pasar tradisional di Indonesia.

Jumlah pasar tradisional di Indonesia semakin menurun, bagaimana Anda melihat ini?

Mungkin ini cerita sadis karena bagaimanapun pasar tradisional punya peran penting untuk memasarkan produk-produk usaha kecil dan menengah (UKM).

Seharusnya hal itu menjadi catatan penting bagi pemerintah agar mengembalikan peran pasar tradisional yang bukan saja sebagai tempat transaksi pedagang dan pembeli, tapi lebih sebagai alternatif pemasaran produk UKM. Jika pasar tradisional lenyap, maka klaim ekonomi kerakyatan pemerintah harus dipertanyakan.

Pasar tradisional itu bisa mati, menurut saya, karena imbas negatif dari persaingan dengan industri, seperti pendirian supermarket dan minimarket waralaba yang sangat inklusif bahkan sampai ke pedesaan.

Dalam konteks ini, kalaupun pemerintah mau memprogramkan revitalisasi pasar tradisional, maka yang jadi fokus seharusnya bukanlah persoalan fisik saja. Selama ini, pemerintah mengatakan pro terhadap pasar tradisional maka yang dilakukan adalah membangun pasar, dari aspek fisiknya.

Selama ini, revitalisasi pasar tradisional itu terindikasi tukar guling. Ada pasar tradisional yang sudah lama berdiri, kemudian tergusur pusat perbelanjaan modern. Sementara lokasi pembangunan pasar tradisional yang baru tidak strategis.

Jadi, program revitalisasi itu sebaiknya diarahkan ke mana?

Fisik itu penting, tapi tidak substantif. (Solusi) yang dibutuhkan adalah bagaimana pemerintah mampu menata persaingan di antara pasar tradisional dengan pasar-pasar modern.

Di sejumlah negara yang menganut paham kapitalis pun masih ada aturan, tidak memperbolehkan pendirian pasar modern dalam radius tertentu dari pasar tradisional, seperti Paddy's Market di Sydney, Australia.

Tapi pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan sudah mengeluarkan aturan tentang penyelenggaraan waralaba..

Iya, tapi dalam hal ini penegakan aturan yang dibutuhkan. Bahwa pasar moderen atau minimarket diatur agar tidak berlokasi di dekat pasar tradisional,  itu memang ada aturannya.

Namun, seringkali aturan itu tidak terimplementasi dengan baik. Apalagi ketika aturan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (pemda) tidak sejalan.

Seolah-olah yang kemudian terjadi adalah pasar tradisional dimiliki pemda karena ijin lokasinya diterbitkan pemda.

Di sini, terjadi kesenjangan. Pemerintah pusat berkeinginan untuk mengatur persaingan, tapi peraturan itu menjadi mandul karena ada "potong kompas" dari pemerintah daerah.

Ini jadi pelajaran, bahwa tidak ada sinkronisasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah.

Meskipun mungkin ada kontribusi pasar tradisional bagi pendapatan daerah, bisa jadi commitment fee dari pendirian supermarket lebih menggiurkan para birokrat. Transparansi itulah yang semestinya menjadi perhatian.

Bagaimana dengan lonjakan kelas menengah di Indonesia yang mencapai  56,5 persen dari jumlah penduduk pada 2012?

Permasalahannya, ketika seseorang naik peringkat (ekonomi), dari kelas bawah ke kelas menengah, perubahan perilaku konsumsi akan mengikuti. Semula mereka (kelas bawah) menjadi konsumen pasar tradisional kemudian beralih ke pasar modern. Itu terjadi salah satunya karena ada persepsi bahwa pasar moderen itu lebih bergengsi dan nyaman.

Jika demikian, peluang peningkatan kelas menengah baru di Indonesia tidak menjadi kabar gembira bagi keberadaan pasar tradisional. Di sini lah peranan pemerintah dibutuhkan.

Peranan pemerintah seperti apa?

Pemerintah dapat memodifikasi perilaku konsumen. Modifikasi itu misalnya, ketika konsumen kecenderungan malas membawa duit banyak, mereka membutuhkan anjungan tunai mandiri (ATM) di dekat lokasi. Dalam kasus itu, pemerintah dapat memfasilitasi dengan mengajak industri perbankan agar menyediakan ATM keliling.

Sejumlah pemerintah daerah mengklaim telah berperan menyelamatkan pasar tradisional dengan berbagai promosi. Bagaimana dengan peranan seperti itu?

Promosi mungkin bagus sebagai bentuk himbauan moral. Tapi, yang justru dibutuhkan adalah keberlanjutan program dari kegiatan promosi.

Jika lokasi pasar tradisional berdekatan dengan pasar moderen, sedangkan barang yang ditawarkan lebih murah di pasar modern, kemungkinan semua promosi itu tidak efektif.

Promosi yang dilakukan pun semestinya lebih menyentuh. Misalnya, peningkatan kesegaran produk pasar tradisional dengan melibatkan sejumlah institusi penelitian. Promosi kesegaran itu menjadi 'senjata' yang dapat dipakai pemerintah. Selain kesegaran, mungkin proses tawar-menawar dalam pasar tradisional yang ditonjolkan sebagai promosi.

Dalam persoalan revitalisasi pasar tradisional, bagaimana peranan para pedagang? Adakah peranan yang dapat mereka lakukan?

Meskipun pedagang dapat mengantisipasi perubahan perilaku konsumen, tapi tetap dibutuhkan peranan fasilitator. Bagaimana memperkuat posisi pedagang, itu yang penting.

Pengelola pasar tradisional, misalnya, mampu memberikan arahan kepada pedagang untuk meningkatkan daya saing. Daya saing tidak selalu mengarah pada harga, tapi dapat pula pada layanan penjualan, seperti keramahan atau kebersihan lokasi dagang.

Apalagi jika pengetahuan pedagang pasar tradisional belum menyentuh tren permintaan pasar. Stimulasi daya saing dilakukan bukan hanya oleh pemerintah, melainkan juga oleh pengelola pasar tradisional.

Pengelola pasar tradisional juga dapat berbagi informasi dengan para pengelola pasar tradisional di daerah lain. Bagaimana pengelola pasar tradisional di Solo misalnya, dapat mempertahankan minta konsumen berbelanja di sana.

Pasar Beringhardjo di Yogyakarta juga bisa jadi contoh. Bagaimana masyarakat Yogyakarta masih setia dengan pasar itu.

Kalau disebutkan pasar tradisional di Yogyakarta dan Solo berarti ada pengaruh faktor budaya masyarakat?

Iya, ada faktor itu dan dibutuhkan pendekatan sosial untuk hal itu.

Jadi, sebenarnya masih banyak hal yang dapat dilakukan untuk mempertahankan pasar tradisional?

Iya, menurut saya masih ada. Sebenarnya yang harus dilakukan adalah ketegasan dari pemerintah terutama kepala daerah untuk mempertahankan pasar tradisional.

(I026)

Pewarta: Imam Santoso
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012