Pembatasan pandemi China dan ketegangan geo-politik dengan Amerika Serikat terus mengganggu rantai pasokan. Meningkatnya inflasi juga merugikan permintaan domestik di seluruh Asia.
Tokyo (ANTARA) - Aktivitas pabrik Asia merosot pada Agustus karena pembatasan nol COVID di China dan tekanan biaya terus merugikan bisnis, survei menunjukkan pada Kamis, mempersuram prospek pemulihan ekonomi yang rapuh di kawasan itu.

Aktivitas manufaktur melemah di negara-negara mulai dari Jepang, China, Korea Selatan, hingga Taiwan sebagai tanda permintaan yang lesu menambah sakit kepala bagi perusahaan-perusahaan yang sudah menghadapi kendala pasokan berkepanjangan.

Tekad Federal Reserve AS untuk melanjutkan kenaikan suku bunga yang agresif juga meredam sentimen bisnis dengan memicu kekhawatiran resesi di salah satu pasar ekspor terbesar di Asia, kata para analis.

Baca juga: BAT umumkan tiga besar Battle of Minds yang akan maju ke Asia Pasifik

"Pembatasan pandemi China dan ketegangan geo-politik dengan Amerika Serikat terus mengganggu rantai pasokan. Meningkatnya inflasi juga merugikan permintaan domestik di seluruh Asia," kata Toru Nishihama, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute di Tokyo.

"Ketakutan akan resesi AS juga tidak membantu. Ekonomi AS dan China adalah mesin pertumbuhan global sehingga ketika keduanya goyah, itu menimbulkan masalah bagi bisnis."

Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Caixin/Markit swasta China berkontraksi untuk pertama kali dalam tiga bulan pada Agustus, data menunjukkan pada Kamis, karena permintaan yang lemah, kekurangan listrik, dan gejolak baru COVID-19 mengganggu produksi.

Data lemah yang tak terduga menggemakan PMI resmi China yang dirilis pada Rabu (31/8/2022), yang juga di bawah angka 50 poin yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi pada basis bulanan.

Negara-negara eksportir utama sama-sama lemah. Aktivitas pabrik Jepang tumbuh pada tingkat yang paling lambat dalam hampir satu tahun pada Agustus, sementara di Korea Selatan menyusut dengan laju paling tajam dalam dua tahun, PMI untuk kedua negara menunjukkan.

Aktivitas manufaktur juga memburuk tajam di Taiwan, dengan produksi dan pesanan baru keduanya turun pada laju tercepat sejak gelombang awal pandemi pada Mei 2020.

"Penurunan permintaan yang nyata juga berarti bahwa perusahaan-perusahaan mengurangi aktivitas pembelian dan persediaan, karena lebih banyak perusahaan mengantisipasi tingkat produksi menurun lebih lanjut selama tahun mendatang," Annabel Fiddes, direktur asosiasi ekonomi di S&P Global mengatakan tentang prospek produksi Taiwan.

Baca juga: Krisis energi Eropa menghantui euro dan pasar saham Asia

Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur akhir au Jibun Bank turun menjadi 51,5 pada Agustus dari 52,1 pada bulan sebelumnya, menandai tingkat pertumbuhan terlemah sejak September 2021.

PMI Korea Selatan turun menjadi 47,6 pada Agustus dari 49,8 pada Juli, tetap di bawah ambang batas 50 untuk bulan kedua dan mencapai level terendah sejak Juli 2020.

PMI Taiwan mencapai 42,7 pada Agustus, turun dari 44,6 pada Juli.

Namun demikian, melemahnya permintaan memiliki efek samping dari berkurangnya tekanan harga. Produsen Korea Selatan melihat kenaikan harga input pada Agustus dengan tingkat paling lambat dalam 19 bulan.

Biaya input rata-rata yang dihadapi oleh produsen barang Taiwan turun untuk pertama kalinya sejak Mei 2020, karena harga beberapa bahan baku seperti baja dan minyak mulai turun.

Asia Tenggara tetap menjadi titik terang di kawasan ini dengan pertumbuhan aktivitas manufaktur di Indonesia, Filipina dan Thailand yang semakin cepat, sementara pertumbuhan Malaysia sedikit melambat, data PMI menunjukkan.

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022