Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Arif Wibowo mengusulkan agar poin penjelasan pelanggaran administrasi pemilihan umum untuk dipisah, yakni pelanggaran administrasi pemilu biasa dengan pelanggaran administrasi pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

"Kesimpulannya pisahkan saja, (pelanggaran) administrasi pemilihan umum (biasa) dan yang TSM, supaya nanti tidak campur aduk dan membingungkan dalam praktiknya bisa menjadi masalah ini,” kata Arif Wibowo dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

Menurut ia, jika penjelasan tersebut tidak dipisah maka dikhawatirkan akan merugikan partai politik peserta pemilu. Padahal, tugas dari penyelenggara pemilu adalah untuk memastikan partai politik bisa terlibat dalam proses pemilu dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil) serta terjaga hak konstitusionalnya.

"Yang seharusnya pelanggaran administrasi pemilu biasa, jangan-jangan perlakuannya sebagaimana pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Nah, siapa yang bakal dirugikan? tentu saja partai politik," ujarnya.

Selain itu, kata Arif, Rancangan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu pengertiannya terlalu luas sehingga bisa menyulitkan upaya menyelesaikan pelanggaran administrasi itu sendiri.

"Kalau itu kita rujuk pada pembentukan aturan perundang-undangan, pedomannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka Rancangan Peraturan Bawaslu tentang Penyelesaian Administrasi Pemilu itu, menurut hemat kami masih belum berkesesuaian," tuturnya.

Arif kemudian menuturkan pada Pemilu 2019 ada 5.167 kasus laporan pelanggaran administrasi yang dinilainya masih banyak belum ditindaklanjuti dan dijelaskan dengan tepat bentuk pelanggaran administrasinya oleh Bawaslu.

Ia pun mendorong Bawaslu yang hadir dalam rapat tersebut untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam Rancangan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu.

"Inilah yang saya kira ke depan harus dapat dijelaskan lebih baik dan cara menjelaskannya adalah di dalam menyusun peraturan tentang penyelesaian pelanggaran administrasi itu harus tepat. Ini ada hubungannya dengan rancangan peraturan yang diajukan Bawaslu," kata Arif.

Ia juga mengimbau agar penyelenggara pemilu tidak bekerja sama dengan pihak asing. Sebaliknya, Arif meminta KPU maupun Bawaslu untuk lebih berhati-hati dan menghindari peluang potensi kerja sama dengan pihak asing, mengingat hal-hal terkait keamanan siber dan pengelolaan data pemilu sangat vital.

"Pemilu kita harus pemilu yang mencerminkan kedaulatan," kata Arif menegaskan.

Raker dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI bersama dengan Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta unsur pemerintah dari Kementerian Dalam Negeri membahas sejumlah hal, di antaranya pembahasan enam Rancangan Perbawaslu dan Rancangan Peraturan DKPP.

"Setelah memperhatikan saran dan masukan dari anggota Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, KPU RI dan DKPP RI, meminta kepada Bawaslu RI untuk menyempurnakan Rancangan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) yang akan dibahas pada rapat selanjutnya. Ancang-ancangnya kalau tadi paling lama tanggal 12 (September),” kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengakhiri rapat tersebut.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022