... kemunculan kecenderungan eksekutif sentris dan keberadaan potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan...
Jakarta (ANTARA) - Kandidat doktor ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Bambang Soesatyo, memublikasikan artikel riset ilmiah yang berjudul The Principles of State Guidelines as The Legal Basis and Legal Politics for Sustainable Development in Facing The Industrial Revolution 5.0.

Menurut dia, artikel yang dimuat dalam jurnal internasional terindeks Scopus di Turki, NeuroQuantology, edisi Augustus 2022, Volume 20, Issue 9, pada halaman 723-733 itu ditujukan untuk memperluas khazanah pemikiran mengenai urgensi menghadirkan PPHN, terutama sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0.

"Selain sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan doktor di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, artikel tersebut juga untuk memperluas khazanah pemikiran tentang urgensi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0," ujar dia, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Ketua MPR: Komcad Indonesia masih belum optimal

Ia menyampaikan publik dapat membaca dan mengkritisi artikel karyanya itu sehingga ruang dialog menjadi semakin terbuka dan pengetahuan mereka tentang urgensi menghadirkan PPHN pun semakin meningkat. Adapun artikel tersebut dapat dibaca di laman https://www.neuroquantology.com/article.php?id=5950

Lebih lanjut, dia menjelaskan, dalam artikel tersebut dia menekankan bahwa pentingnya kehadiran PPHN dilatarbelakangi kebutuhan negara untuk menghadirkan prinsip-prinsip bersifat direktif yang bisa menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam konstitusi sebagai kebijakan dasar politik negara. Hal itu selanjutnya dapat menjadi panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.

"Saya juga mengulas bahwa setelah MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN sebagai Haluan Negara, fungsi GBHN itu digantikan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025," lanjut dia.

Baca juga: Bamsoet tekankan urgensi kehadiran PPHN

Terkait dengan implementasinya, menurut dia, berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan penyelenggaraan pembangunan nasional itu ternyata menyisakan berbagai persoalan.

Di antaranya, kemunculan kecenderungan eksekutif sentris dan keberadaan potensi RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang didasarkan pada visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih pun berpotensi memunculkan visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan.

"Ada juga potensi ketidakselarasan pembangunan antara RPJMN dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, mengingat visi dan misi kepala daerah sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih," ucap dia.

Baca juga: Bamsoet: MPR akan bentuk panitia ad hoc bahas PPHN

Tidak hanya itu, dia pun mengatakan desentralisasi dan penguatan otonomi daerah juga berpotensi mengakibatkan ketiadaan sinergisme perencanaan pembangunan antardaerah serta antara pusat dan daerah.

Selanjutnya, dia menilai hal-hal tersebut akan menghasilkan program pembangunan yang tidak saling mendukung, tetapi justru saling menegasikan satu sama lain. Dia juga memandang dampak dari implementasi pembangunan yang tidak sinergis, selaras, dan berkesinambungan itu berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran.

Oleh karena itu, menurut dia, keberadaan PPHN bernilai penting bagi Indonesia. Adapun terkait dengan kedudukan hukumnya, Bamsoet menilai bentuk hukum paling ideal bagi PPHN adalah ketetapan MPR yang secara hierarki berada di bawah UUD NRI Tahun 1945 dan di atas undang-undang.

Baca juga: Bamsoet ingatkan pemerintah tidak boleh lalai soal kenaikan inflasi

"PPHN tidak tepat diatur secara langsung dalam konstitusi karena mekanisme perubahannya akan sulit dilakukan, sedangkan PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Tidak bisa juga diatur dalam undang-indang karena rawan 'ditorpedo' Perppu ataupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.

Sebelumnya, dia juga telah memublikasikan artikel riset ilmiah yang berjudul "The Urgency of the Staples of State Policy As A Legal Umbrella For The Sustainable Development Implementation to Face The Industrial Revolution 5.0" dan dipublikasikan serta dimuat dalam jurnal internasional terindeks Scopus, Central Asia and The Caucasus Journal, Volume 23 Issue 1 2022, English Edition, di Swedia.

Publik bisa membacanya di laman https://ca-c.org/submissions/index.php/cac/article/view/121/55.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022