RUU Sisdiknas merupakan langkah maju bagi kepastian hukum pendidikan yang lebih praktis dan tidak njelimet.
Jakarta (ANTARA) - Setelah melewati kontroversi, Pemerintah Joko Widodo akhirnya resmi mengajukan RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menjelang September 2022.

Pemerintah melalui Kepala Badan Standar, Asesmen, dan Kurikulum Pendidikan (BSKAP) menyatakan mencabut tiga undang-undang terkait dengan pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, kemudian mengintegrasikan dalam RUU Sisdiknas yang baru.

Pengajuan UU baru diikuti pencabutan UU lama merupakan hal biasa dalam tata penyusunan perundangan di Indonesia. Apalagi UU Sisdiknas yang berlaku sekarang dibuat tahun 2003, sekitar 19 tahun silam, sehingga layak jika diusulkan UU Sisdiknas baru untuk mengakomodasi perubahan di dunia pendidikan.

Namun, di antara yang tidak biasa yang diajukan pada DPR akhir Agustus itu adalah RUU Sisdiknas baru sekaligus mencabut tiga UU Sebelumnya. Jika itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali pengaturan-pengaturan pokok dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke dalam satu UU Sisdiknas, ada yang menilai itu  tumpang tindih dengan peraturan perundangan lain.

Mungkin karena trauma kasus Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang oleh beberapa LSM ditanggapi secara reaktif, maka RUU Sisdiknas pemerintah masuk ke DPR menjelang September ini bisa jadi juga memicu kekhawatiran serupa.

Di antara yang bernada resisten terhadap RUU Sisdiknas adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. RUU Sisdiknas menggabungkan menggabungkan tiga UU yakni UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).

Penggabungan ketiga UU tersebut dinilai menunjukkan potensi RUU Sisdiknas digarap dengan menggunakan pendekatan metode omnibus law di sektor pendidikan.

Mungkin ada benarnya Omnibus law RUU Cipta kerja kurang transparan, kurang melibatkan partisipasi masyarakat, dan merugikan kepentingan nasional terutama kaum buruh. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan RUU Sisdiknas.

Membuka partisipasi

Pemerintah melalui Kemendikbudristek membuka selebar-lebarnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU Sisdiknas. Bahkan pemerintah dan mengajak masyarakat luas memberi masukan melalui laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/.

Kepala Badan Standar, Asesmen, Kurikulum, dan Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyatakan, "Masukan dari publik tersebut merupakan bentuk pelibatan publik yang bermakna sesuai amanat undang-undang dan akan menjadi bahan pertimbangan dalam tahap penyusunan dan pembahasan rancangan undang-undang. Di laman Sisdiknas itu terlihat selalu meng-update ke masyarakat jika terjadi perubahan dalam RUU yang sedang dibahas".

Dari segi transparansi, metode penyerapan aspirasi pubik di RUU Sisdiknas justru dapat dipandang sebagai langkah maju. Namun dari segi bingkai sistem hukum pembuatan UU dengan formula omnibus law, yakni berbagai macam UU disatukan, memang masih debatable.

Dari sisi etimologi, omnibus law berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti untuk semua atau segalanya, dan law berarti hukum. Secara harfiah, omnibus law dapat didefinisikan sebagai sebuah hukum untuk semua.

Menurut peneliti Hukum Paskaria Maria Tombi, konsep ini sering digunakan di negara yang menganut sistem common law dalam membuat regulasi, seperti Amerika Serikat. Istilah lainnya, omnibus bill. Bryan A Garner, dalam "Black Law Dictionary Ninth Edition" menyebutkan, “Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes.” “A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision.”

Terjemahan bebasnya, omnibus bill berarti sebuah undang-undang yang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda atau mengatur dan mencakup semua hal mengenai suatu jenis materi muatan.

Dalam praktiknya, skema regulasi ini sudah dikenal sejak tahun1840. Merujuk literatur “The Library of Parliament and the House of Commons Procedure and Practice Handbook”, praktik omnibus law di Amerika Serikat muncul pertama kali dalam perjanjian privat terkait pemisahan dua rel kereta api. Pada tahun 1967, metode ini menjadi makin populer. Saat itu, Menteri Hukum Amerika Serikat Pierre Trudeau mengenalkan "Criminal Law Amendement Bill'. Isinya mengubah undang-undang hukum pidana dan mencakup banyak isu.

Omnibus law atau omnibus bill merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif. Tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang- undang sekaligus.

Terobosan

Cara kerja omnibus law adalah dengan menghapus, merevisi, atau menambahkan pasal secara sekaligus. Tak heran, omnibus law punya sebutan UU Sapu Jagat. Kehadirannya diharapkan membereskan tumpang-tindih dan kekacauan regulasi nasional. Penerapan omnibus law di Indonesia adalah sebuah terobosan.

Mengingat, Indonesia bukanlah penganut common law, melainkan civil law. Tak heran, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Perubahannya, memang tidak dikenal istilah omnibus law. Namun, apakah omnibus law bertentangan dengan sistem hukum Indonesia?

Tidak. Ada peluang dalam perundang-undangan Indonesia yang memungkinkan untuk membuat terobosan itu. Asas lex posterior derogat legi priori. Penafsiran hukum yang menyatakan, hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).

Omnibus law dapat menjadi salah satu exit strategy pemerintah dalam menerapkan inovasi kebijakan. Syaratnya, harus dilakukan dalam tingkatan UU agar tidak bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. Omnibus law sebagai sebuah undang-undang tetap berkedudukan di bawah undang-undang dasar, namun lebih tinggi dari jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Omnibus law bisa menjadi UU payung karena mengatur secara menyeluruh dan mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain.

Jadi, penyatuan hukum tertentu sebenarnya masih ada celah asalkan bisa menyelaraskan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dalam UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Apalagi dalam RUU Sisdiknas yang diajukan pemerintah akhir Agustus 2022 itu, tiga undang-undang yang disatukan jadi satu, semuanya masih dalam kategori dunia pendidikan. Beda dengan omnibus law versi RUU Cipta Lapangan Kerja yang campur-aduk banyak sektor, mulai dari investasi, perburuhan, pendidikan, UKM, dan lainnya.

Jadi penyatuan perundang-undangan menyangkut para pemangku kependidikan seperti guru hingga perguruan tinggi ke dalam satu RUU Sisdiknas merupakan langkah maju bagi kepastian hukum pendidikan yang lebih praktis dan tidak njelimet.

Yang penting, substansi UUD Sisdiknas baru yang disahkan nanti tetap dalam koridor konstitusi Pasal 31 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Prosesnya harus transparan dan melibatkan para pemangku pendidikan yang ada di masyarakat.

*) M. Aminudin adalah Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)/ Mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005/ Staf Ahli DPR RI 2008/ Tim Ahli DPD RI 2013

Copyright © ANTARA 2022