Jakarta (ANTARA) - Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bambang Gunawan mengatakan, Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis.

Salah satunya adalah dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR, kata Bambang Gunawan pada Selasa.

“Upaya merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda, perlu segera dilakukan sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” kata Bambang dalam acara “Dialog Publik RUU KUHP”, yang digelar secara hibrida dari Manado, Sulawesi Utara.

Dikatakan Bambang, pemerintah telah mulai merancang RUU KUHP sejak 1970. Namun, karena berbagai dinamika politik dan sosial, sampai saat ini belum terealisasi.

“Sejumlah pasal RUU KUHP memunculkan pro dan kontra masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahannya dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang jadi sumber diskusi,” ucap dia.

Dalam proses pembahasan terkini, beberapa pasal RUU KUHP yang menimbulkan perdebatan dan polemik di masyarakat terus dimatangkan melalui berbagai diskusi yang melibatkan pihak termasuk masyarakat.

Pemerintah, kata dia, sudah menyerahkan draft terbaru RUU KUHP ke Komisi III DPR RI seusai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI terkait Penyerahan Penjelasan 14 poin krusial dari Pemerintah pada 6 Juli 2022.

"Komisi III, dalam hal ini fraksi-fraksi, akan melihat kembali penyempurnaan naskah dari pemerintah,” kata Bambang.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo menjabarkan mengenai isu-isu krusial RUU KUHP yang banyak mendapatkan resistensi dari masyarakat. Isu krusial yang pertama adalah masuknya living law atau hukum yang hidup di masyarakat ke dalam RUU KUHP.

Menurut dia, masuknya hukum adat ke dalam RUU KUHP karena masyarakat adat merupakan kelompok yang juga diakui di dalam konstitusi. Sementara masuknya living law di dalam RUU KUHP dianggap sebagai satu rekognisi atau pengakuan serta penghormatan pada hukum adat.

“Pertanyaannya, hukum adat yang mana? Nah, dikaitkan dengan living law ini adalah hukum adat yang masih diakui dan masih berlaku dalam suatu masyarakat,” kata dia.

Isu krusial selanjutnya adalah pidana mati. Menurutnya, yang perlu dicatat adalah bahwa dalam RUU KUHP, pidana mati dirumuskan secara alternatif, dengan ada yang disebut sebagai masa percobaan.

“Percobaan masuk ke penjara selama sepuluh tahun, apabila si terpidana mati berbuat baik, tidak melanggar aturan, maka dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Jadi ini yang menentukan nanti sementara dari keputusan presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Ini untuk mencari kompromi antara mereka yang pro dan kontra pidana mati,” ucap dia.

Sementara terkait kebebasan berpendapat, Harkristuti sepakat perlu dibatasi karena Indonesia memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang juga perlu dijaga.

“Kalau kebebasan berpendapat tidak dibatasi, maka orang boleh menghina siapa saja, orang boleh menyebarkan berita bohong kemana saja, ini bahaya sekali, lalu pornografi juga boleh tersebar kemana saja karena itu merupakan kebebasan berekspresi juga. Nah, ini yang kemudian kita cegah dengan membuat aturan-aturan,” kata dia.

Namun Ia menggarisbawahi jika aturan tersebut tidak berarti membatasi kebebasan pers karena tidak ada pengaturan tindak pidana baru dalam RUU KUHP yang secara khusus ditujukan ke pers.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih berpendapat bahwa tujuan hukum pidana sejak awal adalah untuk melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan individu.

“Ini penting sekali ada di dalam asas-asasnya. Jangan juga kita mengatakan kenapa hukum mesti harus masuk ke kamar tidur kita? Di kamar tidur itu ada perkosaan, kohabitasi, dan ada yang lain-lain. Meskipun dirinya tidak merasa dirugikan, tidak ada yang dirugikan pribadinya, tetapi bagaimana dengan nilai dalam masyarakat?" ujar dia.

Acara “Dialog Publik RUU KUHP” turut melibatkan perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat, kelompok pemuka agama, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat, akademisi, serta Badan Eksekutif Mahasiswa di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.

Baca juga: Pemerintah upayakan pemerataan infrastruktur hingga ke pelosok negeri

Baca juga: Pemerintah akselerasi pembangunan infrastruktur digital

Baca juga: Kemenkominfo siapkan pusat informasi untuk media di KTT G20

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022