Jakarta (ANTARA) - Ketua Satuan Tugas Monkeypox (cacar monyet) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Hanny Nilasari, merekomendasikan pengadaan vaksin Modified Vaccinia Ankara-Bavarian Nordic (MVA-BN) lebih diutamakan untuk menekan kejadian cacar monyet di Indonesia.

"Vaksin yang kami rekomendasikan adalah MVA-BN, dengan mempertimbangkan efikasi dan keamanannya," kata Hanny dalam media briefing yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Menurut Hanny, MVA-BN yang digunakan sebagai vaksin cacar (smallpox) generasi ketiga itu efektif dan aman diberikan kepada pasien monkeypox dengan kondisi immunocompromised atau yang memiliki kelainan imunitas bawaan. Selain itu, MVA-BN juga aman diberikan kepada pasien berusia di atas 18 tahun, anak-anak, hingga wanita hamil.

"Jadi ini efektif dan aman digunakan untuk pasien dengan berbagai macam usia dan berbagai macam kondisi," ujar Hanny.

Baca juga: Dokter: Keropeng cacar monyet akan lepas sendiri

Baca juga: Satgas minta nakes tingkatkan kemampuan klinis diagnosis Monkeypox


Meski tidak akan meniadakan infeksi secara total hingga 100 persen, Hanny mengatakan pemberian vaksin terbaik tentu akan meminimalisir terjadinya komplikasi lebih lanjut. Sebagai informasi, komplikasi yang paling sering dilaporkan pada pasien cacar monyet sejauh ini adalah terkait susunan saraf pusat.

"Meskipun ini masih dalam penelitian untuk mencari penyebab mengapa infeksi bisa berkomplikasi menyerang susunan syaraf pusat. Jadi kita berharap dengan vaksinasi, komplikasi menjadi lebih ringan atau bahkan kalau pasien terinfeksi dia tidak akan ada komplikasi," ujar dia.

Adapun terkait pemberian vaksin untuk cacar monyet, Hanny mengatakan pihaknya tidak merekomendasikan untuk digunakan secara luas, namun fokus kepada tiga kelompok prioritas yaitu tenaga kesehatan terutama yang melakukan pemeriksaan secara dekat dengan infeksi, orang-orang yang melakukan kontak erat dengan pasien terkonfirmasi positif, dan orang-orang yang melakukan kontak seksual dengan berganti-ganti pasangan atau multi partner serta kelompok homoseksual.

Masalahnya, menurut Hanny, Indonesia sendiri sebenarnya sudah bebas dari penyakit cacar pada tahun 1980-an sehingga penggunaan vaksin smallpox secara massal sudah tidak diperlukan lagi.

"Memang proteksi untuk vaksinasi smallpox terhadap virus monkeypox ini dilaporkan 85 persen. Saya rasa dengan menjaga imunitas pasien dan mengidentifikasi pasien dan mengobatinya secara komprehensif, tidak perlu vaksinasi secara massal," ujar Hanny.

"Jadi masih harus dikaji apakah memang diindikasikan vaksinasi smallpox ini digunakan secara luas di Indonesia karena terbukti di Indonesia cacar sudah tidak ada," lanjutnya.

Untuk itu, Hanny pun mengusulkan bahwa pemberian obat antivirus dan vaksin untuk cacar monyet sebaiknya didesentralisasikan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditunjuk, agar pemberiannya dapat lebih efisien dan tepat sasaran untuk kelompok yang berisiko. Apalagi, mengingat produksi vaksin cacar monyet saat ini masih sangat terbatas.

"Obat antivirus dan vaksin sebaiknya didesentralisasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditunjuk dengan alur permintaan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sehingga tidak didistribusikan langsung ke rumah sakit," ujar Hanny.*

Baca juga: Satgas: Perketat pemantauan Monkeypox di semua pintu masuk negara

Baca juga: Perawat senior: Cegah penularan cacar monyet mulai dari rumah

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022