Surabaya (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah memasuki tahap finalisasi dan segera disahkan menjadi UU pada akhir tahun ini.

"Ini (RUU KUHP) sudah dibahas selama 59 tahun dan sudah hampir final. Bahkan sudah dikatakan final tapi dibersihkan terlebih dahulu dari hal-hal yang sifatnya teknis," ujar Mahfud MD usai Dialog RUU KUHP, di Surabaya, Rabu.

Mahfud menambahkan pengesahan Rancangan KUHP menjadi undang-undang (UU) yang sah akan berproses di DPR RI. Nantinya, dalam pengesahan itu dilakukan bersama pemerintah pusat.

"Insyaallah akhir tahun ini RKUHP sudah bisa disahkan jadi UU oleh DPR RI bersama pemerintah," kata dia.

Baca juga: Mahfud MD: Hukum tidak boleh dipolitisasi

Dia mengklaim dalam RUU KUHP tersebut sudah mengakomodasi banyak hal, mulai dari berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, dan lain sebagainya.

"Isinya sudah mengakomodasi berbagai kepentingan, berbagai aliran, berbagai paham, berbagai situasi budaya, dan sebagainya. Tinggal dilanjutkan menjadi satu namanya visi bersama tentang Indonesia," ujar dia.

Kendati begitu, lanjut dia, sebenarnya ada isu-isu krusial yang disetujui DPR RI di RUU KUHP. Pertama, terkait living law atau masyarakat adat, di mana dalam RUU KUHP hukum adat diakui dan bisa diterapkan.

Kedua, mengenai pidana mati, di mana dalam RUU KUHP ini pidana mati ditempatkan paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana. Ketiga, soal kebebasan berpendapat. Poin penting terkait isu ini ialah penghinaan kepada kepala negara yang diatur dalam Pasal 218 RUU KUHP.

Baca juga: Menkopolhukam temui tim rekonsiliasi untuk tuntaskan kasus HAM berat

Keempat, ada pasal terkait santet dan guna-guna. Ini menyasar mereka yang mengiklankan diri memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Kelima, penghapusan pasal tentang dokter dan dokter gigi yang menjalankan pekerjaan tanpa izin. Hukumannya tidak dalam bentuk kurungan badan.

Keenam, unggas yang merusak kebun/tanah yang telah ditaburi benih (Pasal 277 RKUHP). Pasal ini menyangkut hewan ternak yang merusak tanaman, kebun atau sawah. Ketujuh, tentang penodaan agama (Pasal 302 RUU KUHP). Pasal ini menyasar pada tindakan yang menunjukkan upaya permusuhan, menghasut, dan penghinaan terhadap agama tertentu.

Baca juga: Menkopolhukam: Pengesahan RUU PDP tak ada kaitan dengan Bjorka

Kedelapan, tindak pidana penganiayaan hewan (Pasal 340 RUU KUHP). Contohnya, eksploitasi hewan dengan tujuan yang tidak patut. Misalnya topeng monyet.

Kesembilan, terkait aborsi (Pasal 467 RUU KUHP). Pelaku aborsi tidak bisa di idana bagi korban perkosaan apabila usia kehamilan di bawah 6 minggu. Kesepuluh, menyangkut ruang privat masyarakat terkait keasusilaan. Misalnya perzinahan, di mana pasangan yang belum menikah tapi sudah bersama seperti dalam perkawinan, itu bisa dihukum.

Kesebelas, penggelandangan masyarakat, di mana gelandangan itu bisa diproses hukum ketika mengganggu ketertiban umum. Keduabelas, tindakan menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak. Ketigabelas, upaya contempt of court dan keempatbelas, penghapusan pidana advokat curang.

 

Pewarta: Abdul Hakim/Willy Irawan
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022