Jakarta (ANTARA) - Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menilai Indonesia dapat menjadi pemimpin dunia dalam energi bersih dengan reformasi lebih lanjut guna memobilisasi investasi bidang energi terbarukan dan efisiensi energi.

Lembaga yang bermarkas di Paris itu menyampaikan, Indonesia memiliki potensi keuangan dan investasi melimpah yang belum dimanfaatkan dalam energi terbarukan dan efisiensi energi, bidang-bidang yang merupakan kunci untuk mempercepat transisi energi hijau dan mendukung pemulihan berkelanjutan dari krisis COVID-19.

Reformasi untuk menciptakan peraturan yang jelas dan konsisten demi energi terbarukan. Misalnya, menggunakan tender kompetitif untuk mendorong persaingan dan pengurangan biaya, sehingga  membantu mengatasi kekurangan investasi ini. Pengenalan standar kinerja energi pertama Indonesia baru-baru ini harus mendorong penyerapan lebih lanjut dari solusi efisiensi.

“Menciptakan lingkungan peraturan yang sehat, transparan, dan dapat diprediksi adalah kunci untuk menarik ratusan miliar dolar investasi swasta yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi bersih dan pemulihan hijau Indonesia secara lebih luas,” kata Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann.

Bantuan dari masyarakat internasional dapat memainkan peran kunci dalam membantu Indonesia mempercepat transisi energi bersih. Mitra internasional dapat membantu mengembangkan jaringan proyek efisiensi energi dan energi terbarukan yang kuat.

Langkah tersebut dapat dilakukan dengan memberikan bantuan teknis guna pelatihan dan pengembangan kapasitas yang ditujukan untuk audit energi tingkat investasi bersertifikat. Memanfaatkan mekanisme keuangan campuran seperti Sustainable Deveopment Goals (SDGs) Indonesia One Fund juga dapat membantu memobilisasi modal swasta untuk proyek energi bersih di Tanah Air.

Perjanjian Paris mengharuskan Indonesia menguraikan dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim pasca tahun 2020 dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), dan diserahkan kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).

Dokumen itu menetapkan komitmen pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri), dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Indonesia juga menargetkan capaian emisi nol bersih paling lama tahun 2060, serta target bersyarat untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap paling lama tahun 2040.

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) semakin membuka peluang Indonesia untuk menjadi destinasi utama bagi investasi hijau dunia. Kemudian dilanjutkan dengan Presidensi G20 di Tanah Air yang semakin mendorong komitmen Indonesia dalam menggencarkan pendanaan hijau lantaran telah menjadi agenda penting perhelatan besar tersebut.

Dukungan untuk investasi energi terbarukan, termasuk beberapa insentif pajak, memang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Dengan demikian, adanya proyek-proyek energi terbarukan pemerintah Indonesia serta perkembangan di sektor-sektor seperti industri hilir menjadikan pendanaan hijau sebagai solusi tepat dalam mendukung kemajuan Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Untuk merealisasikan target NDC, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan lebih dari 280 miliar dolar AS atau setara dengan Rp4.200 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Maka dari itu, di sisi fiskal, berbagai upaya melakukan inovasi sumber pembiayaan hijau terus dilakukan, salah satunya dengan penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk hijau (green sukuk).

Saat ini, Indonesia telah berhasil menjadi pionir dalam penerbitan obligasi hijau di kawasan Asia Tenggara melalui penerbitan sukuk hijau senilai 1,25 miliar dolar AS pada Maret 2018. Penerbitan ini juga didaulat sebagai sukuk hijau negara pertama di dunia dengan investor yang tersebar di seluruh dunia yaitu 32 persen pasar negara Muslim, 25 persen pasar Asia, 15 persen Uni Eropa, 18 persen Amerika Serikat, dan 10 persen Indonesia.

Hasil penerbitan sukuk hijau global tersebut akan didistribusikan ke proyek ramah lingkungan di Tanah Air sesuai Kerangka Hijau, yakni energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, efisiensi energi, pariwisata hijau, ketahanan terhadap perubahan iklim, bangunan hijau, transportasi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, serta pengelolaan limbah dan energi limbah.

Baru-baru ini, penerbitan sukuk hijau oleh Pemerintah Indonesia pada Mei 2022 senilai 3,25 miliar dolar AS disinyalir sebagai sukuk hijau global terbesar yang pernah diterbitkan.

Tak hanya melalui sukuk, pemerintah turut mengalokasikan kas negara untuk mencapai target NDC. Belanja pemerintah untuk perubahan iklim sejauh ini tercatat sebesar Rp373,5 triliun atau 26,68 miliar dolar AS pada periode 2016-2019.

Kendati begitu, jumlah tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan mitigasi iklim sebesar 34 persen dari total dana yang dibutuhkan untuk mencapai target NDC, sehingga pemerintah perlu mendorong sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, salah satunya dengan pengembangan bentuk pembiayaan kerja sama.

Peran masyarakat Indonesia dalam mendukung program-program pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan lingkungan turut diperlukan. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam membiayai program pembangunan berkelanjutan, salah satunya dengan berinvestasi pada sukuk negara yang diterbitkan pemerintah.


Perhatian dunia

Pendanaan hijau menjadi salah satu fokus utama Presidensi G20 Indonesia lantaran perubahan iklim telah menjadi perhatian dunia. Hampir seluruh negara di dunia berlomba-lomba menunjukkan keseriusan dalam mengurangi emisi, polusi, hingga mengembangkan pembiayaan hijau.

Jerman, salah satunya, yang berkomitmen menjadi negara pelopor penerapan aturan ketat penggunaan kendaraan bermotor. Pada tahun 2030, negara ini bertekad agar semua mobil yang dijual di Jerman harus bebas emisi.

Indonesia pun mulai menyusul langkah yang sama secara bertahap dengan penggunaan transportasi listrik yang mulai menjamur di ibu kota negara hingga instruksi Presiden Joko Widodo untuk mewajibkan mobil listrik sebagai kendaraan dinas yang dipakai para pejabat.

Sementara dalam pembiayaan hijau, Tiongkok terus menggiatkan komitmennya untuk menjadi pelopor. Presiden Xi Jinping memerintahkan kepada seluruh bank di Tiongkok untuk turut serta mengembangkan pembiayaan hijau demi mewujudkan cita-cita Tiongkok sebagai sebuah negara terdepan dalam urusan peradaban ekologi dunia.

Pedoman bangunan sistem pembiayaan hijau telah diluncurkan pemerintah Negeri Panda, sebuah kebijakan yang berusaha untuk mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan pelestarian alam.

Laporan terbaru dari Climate Bonds dan HSBC mengungkapkan pasar pembiayaan hijau di enam ekonomi terbesar ASEAN (ASEAN-6) terus tumbuh pesat pada tahun 2021 dengan rekor penerbitan pembiayaan hijau, sosial, dan berkelanjutan (Green, Social, and Sustainability/GSS) secara total mencapai 24 miliar dolar AS dibandingkan 13,6 miliar dolar AS pada 2020, naik 76,5 persen secara tahunan dan pembiayaan terkait berkelanjutan berjumlah 27,5 miliar dolar AS dibandingkan 8,6 miliar dolar AS pada 2020 atau meningkat 220 persen secara tahunan.

Di antara negara-negara ASEAN-6, bersama dengan Singapura, Indonesia telah melihat campuran ukuran kesepakatan yang paling beragam, mulai dari di bawah 100 juta dolar AS hingga di atas 1 miliar dolar AS.

Pada September 2021, Indonesia adalah negara pertama yang menerbitkan obligasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs Bond di Asia Tenggara, mengumpulkan 584 juta dolar AS untuk mendanai proyek sosial dan lingkungan untuk mendukung SDGs.

Pada akhir tahun 2021, Pasar GSS+ Indonesia didominasi oleh tema hijau, namun dengan pangsa instrumen yang terkait dengan keberlanjutan dan keberlanjutan yang terus meningkat.

Pembiayaan hijau memimpin pasar Indonesia dengan volume 65 persen, diikuti oleh saham yang sama dari obligasi berkelanjutan dan instrumen terkait keberlanjutan masing-masing sebesar 15 persen. Sementara obligasi sosial tercatat membentuk lima persen pangsa pasar.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022