Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut laju pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi tertekan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 4,25 persen.

“Pertumbuhan ekonomi berpotensi terdampak, terutama di kuartal akhir 2022. Ini bisa berada di bawah 5 persen year on year,” kata Faisal kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Ia menyebut kenaikan suku bunga acuan BI akan membuat perbankan konvensional meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga simpanan sehingga permintaan pelaku usaha dan masyarakat terhadap kredit berkurang.

“Ini akan menghambat penyaluran kredit ke sektor riil, yang mana selama ini kredit sektor riil pertumbuhannya sudah 10 persen, sudah bagus. Ke UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) juga sudah di atas 10 persen dan ini berpotensi melemah kembali ke single digit,” katanya.

Selain menghambat penyaluran kredit, peningkatan suku bunga acuan BI juga bisa mengutangi daya beli masyarakat juga bisa menurun.

Menurutnya pemerintah perlu melindungi daya beli masyarakat terutama masyarakat miskin dan rentan miskin, serta membantu pelaku usaha di sektor-sektor yang belum pulih dari pandemi COVID-19.

Masyarakat kelas bawah yang rentan terdampak inflasi serta kebijakan peningkatan suku bunga acuan BI harus dilindungi dengan insentif yang dipertahankan atau ditambah.

“Sementara sektor yang lebih kuat dan lebih cepat pulih dari pandemi bisa dikurangi insentifnya untuk memberi rasa keadilan antar masyarakat dan pelaku usaha,” ucapnya.

Baca juga: Praktisi: Ketahanan perbankan harus tetap terjaga meski bunga BI naik

Baca juga: Rupiah melemah tipis dipengaruhi kenaikan bunga Fed dan BI


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022