Untuk marketplace ini, sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas, karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Center for Tax Law Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta GM Adrianto Dwi Nugroho menilai penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak perlu pertimbangan lebih mendalam mengingat kebijakan itu dapat melemahkan sistem self assessment.

"Untuk marketplace ini, sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas, karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak," kata Adrianto dalam pernyataan di Jakarta, Jumat

Ia memastikan kebijakan tersebut berkebalikan dengan sistem self assessment, yang selama ini dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia, mengingat selama ini kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak dilakukan oleh Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Baca juga: Sri Mulyani: Penerimaan pajak 2023 bakal naik Rp2,9 triliun karena PPN

Ia pun mengkhawatirkan terjadi disinformasi karena marketplace yang diminta untuk memotong dan menyetorkan pajak ke kas negara, tidak mengetahui status maupun informasi milik Wajib Pajak atau PKP, salah satunya terkait volume transaksi.

"Itu bisa mempengaruhi kapasitas intermedia, termasuk dari vendor apakah sudah PKP atau belum untuk memenuhi syarat tersebut. Jadi dari sisi kapasitas marketplace ini ada problem yang harus diselesaikan, sebelum ini bisa diterapkan," katanya.

Sebelumnya, salah satu pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengamanatkan marketplace untuk menjadi pihak yang dapat memungut PPN atas barang yang dijual di marketplace serta memotong PPh atas penghasilan seller.

Saat ini, peraturan turunan untuk penciptaan ekosistem yang kuat dalam iklim berusaha secara digital tersebut sedang dirumuskan agar pelaksanaan kebijakan perpajakan dari perdagangan daring bisa menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha konvensional dan digital.

Baca juga: DJP kumpulkan PPN PMSE Rp8,2 triliun sampai akhir Agustus 2022

Kasubdit Peraturan PPN dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayung memastikan peraturan pajak bagi e-commerce tersebut belum hadir dalam waktu dekat, mengingat masih ada pematangan regulasi secara mendalam.

Meski demikian, ia menegaskan bila peraturan tersebut muncul, maka tidak akan mengganggu kinerja dari e-commerce maupun pelaku usaha. Selain itu, Bonar menjamin tanggung jawab pembayaran PPN dan PPh masih dibebankan kepada Wajib Pajak atau penjual dan pembeli, bukan marketplace.

"Ketika pasal baru muncul, bagaimana status PKP dengan kewajibannya? Kewajiban para merchant PKP tetap normal, sesuai ketentuan. Saat jual barang dia wajib memungut PPN ditandai dengan memungut faktur," kata Bonar.

Ia juga mengakui terdapat tantangan tersendiri untuk mengatur pelaku UMKM di dalam e-commerce, salah satunya karena lokasi penjualan yang tidak pasti, sehingga perlu regulasi yang lebih adil antara pelaku usaha online dan offline.

 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022