diperlukan fondasi kuat terhadap sistem digitalisasi sektor pertanian agar bisa diterapkan milenial
Jakarta (ANTARA) - Ancaman krisis pangan dunia kian mendekat ketika dunia dilanda pandemi COVID-19 selama 2 tahun lebih. Dan, krisis pangan makin nyata setelah invasi Rusia ke Ukraina yang merusak rantai pasok pangan global sehingga memicu lonjakan harga pangan.

Kendati Indonesia juga mengimpor bahan pangan seperti terigu dan kedelai, negeri ini bisa terhindar dari krisis pangan. Dengan wilayah pertanian yang demikian luas dan didukung puluhan juta tenaga kerja di sektor pertanian, Indonesia mampu menyediakan pangan secara swasembada.

Oleh karena itu, krisis pangan memang tidak seharusnya terjadi di negeri ini. Bahkan Indonesia bisa berbuat lebih dari itu. Selain menjadi produsen pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik, juga bisa mengekspor. Ini sudah terjadi, misalnya, ekspor sayur dan buah ke negara tetangga hingga ekspor minyak goreng ke berbagai negara.

Indonesia ke depan bukan hanya mempunyai ketahanan pangan. Lebih dari itu memiliki kedaulatan pangan, yang untuk memenuhi kebutuhan domestiknya tidak bisa didikte negara lain.

Keunggulan Indonesia sebagai negara agraris dengan beragam komoditas pertanian itulah yang mendorong bangsa-bangsa lain  di era kolonial menjadikannya sebagai lahan produksi berbagai komoditas pertanian.

Saat ini Indonesia memang menjadi negara produsen beberapa komoditas pertanian. Akan tetapi Indonesia pun masih memerlukan impor beberapa komoditas pangan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat.

Isu krisis pangan global yang mencuat belakangan ini membuat harga pangan dunia melonjak. Indonesia pun turut terdampak lantaran masih membutuhkan beberapa komoditas pangan yang harus diimpor dari luar negeri. Padahal sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan swasembada pangan.

Permasalahan umum pertanian di Indonesia saat ini adalah inefisiensi dan tidak adanya intensifikasi.

Cara bercocok tanam kebanyakan petani Indonesia sekarang ini masih sama seperti pada era kolonial, sedangkan pertanian di negara-negara maju sudah menerapkan mekanisasi dan standarisasi pada setiap hasil pertanian.

Cara produksi pangan yang tidak efisien ini pula yang menyebabkan harga komoditas pangan Indonesia kalah bersaing dengan hasil pertanian luar negeri yang telah menerapkan mekanisasi dalam proses produksinya.

Selain itu, peningkatan kapasitas produksi juga jadi kendala karena petani Indonesia masih menggunakan cara-cara lama dalam perlakuan pada tanaman yang membuat hasil panen jadi tidak maksimal. Kenapa bisa begitu? Jawabannya adalah sumber daya manusia.

Berdasarkan Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa mayoritas petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas. Saat ini hanya sekitar 8 persen dari petani di Indonesia yang berusia di bawah 40 tahun.

Selain itu, data tersebut menyebutkan bahwa petani juga masih didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah. Terdapat sekitar 66,42 persen tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak tamat SD atau bahkan yang tidak sekolah. Sementara sekitar 16,13 persen hanya berpendidikan sampai tingkat SMP.

Oleh karena itu dibutuhkan pemuda yang melek teknologi, dekat dengan inovasi, dan  menjunjung efisiensi untuk terjun di sektor pertanian guna menjawab berbagai permasalahan pertanian Indonesia saat ini.


Regenerasi petani
Peneliti Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi mengungkapkan bahwa regenerasi petani Indonesia sangat penting untuk menjawab ketahanan pangan nasional.

Regenerasi petani sebagai salah satu upaya  meningkatkan ketahanan pangan. Karena, salah satu unsur ketahanan pangan itu tersedianya bahan pangan sehingga regenerasi petani dengan kualitas SDM lebih baik merupakan keniscayaan untuk memastikan ketersediaan pangan.

Lahirnya generasi petani melek teknologi bakal mempercepat kemajuan sektor pertanian Indonesia. Petani generasi baru ini lebih terbuka dengan teknologi, pertanian modern, dan lebih mudah mengadopsi teknologi.

COO Edufarmer Foundation Amri Ilma menyebutkan saat ini kebanyakan petani Indonesia masih berkutat pada sisi sosial ekonomi ketimbang peningkatan kapasitas produksi. Petani Indonesia masih berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil pertanian dengan segala keterbatasan akses, baik permodalan, input pertanian, hingga akses pasar.

Yayasan edukasi untuk para petani muda itu hadir untuk meningkatkan mendidik  para petani muda sekaligus  memperkenalkan berbagai teknologi. Tujuannya satu, yaitu meningkatkan kapasitas produksi.

Tantangan yang dihadapi petani, antara lain, akses permodalan, pupuk, sarana produksi pertanian,  hingga kepastian offtaker untuk harga panen.

Berbagai tantangan tersebut perlahan mulai terjawab dengan adanya berbagai inovasi dan teknologi di bidang pertanian atau agritech. Saat ini sudah banyak aplikasi finansial yang memberikan akses permodalan kepada petani. Juga membuka akses pasar kepada petani agar tidak menjual hasil pertanian kepada tengkulak atau middel man.

Sekarang sudah ada loka pasar (marketplace) untuk penyediaan pupuk dan sarana produksi pertanian dengan harga lebih terjangkau dan bisa dipesan dengan lebih mudah. Berbagai akses ke teknologi seperti drone untuk surveilans dan sensor-sensor IoT untuk melihat kelembaban tanah, udara, cuaca, bahkan prediksi model dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI) juga sudah tersedia.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardia menilai bahwa adanya sistem digitalisasi pada sektor pertanian akan mengungkit minat para pemuda terjun ke sektor strategis yang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian anak muda tersebut.

Oleh karena itu diperlukan fondasi yang kuat terhadap sistem digitalisasi sektor pertanian agar benar-benar bisa diterapkan oleh para milenial yang merupakan penduduk terbanyak Indonesia saat ini.

Sistem digitalisasi perlu disediakan di seluruh daerah guna memudahkan pengembangan usaha baru oleh kalangan pemuda yang lebih mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Saat ini sudah banyak perusahaan rintisan atau startup yang bergerak di sektor pertanian untuk memudahkan petani Indonesia berproduksi maupun memasarkan produk.

Ada startup yang menyediakan perlengkapan kebutuhan petani melalui sistem keagenan,  fintech khusus pertanian, ada startup yang menghubungkan petani dengan para pemilik restoran maupun warung makan, ada pula perusahaan rintisan yang menyediakan ekosistem pertanian, mulai dari menanam hingga pemasaran. Masih banyak lagi startup di bidang pertanian dengan mengambil segmen tertentu.

Melihat kehadiran teknologi tidak bisa dipisahkan dengan  pertanian maka keterlibatan anak muda di sektor ini menjadi keniscayaan.

Anak muda yang lebih melek teknologi dibanding generasi sebelumnya harus berani terjun ke sektor pertanian demi terciptanya kedaulatan pangan nasional kini dan mendatang. ***1***



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022