Jakarta (ANTARA) - Pertemuan tingkat menteri di bidang perdagangan, investasi dan industri atau Trade, Investment and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) yang menjadi salah satu kelompok kerja G20, baru saja usai.

Dari hasil pertemuan tersebut, khususnya di bidang investasi, lahir satu kompendium, yaitu "Kompendium Bali atas Praktik Kebijakan G20 dalam Mempromosikan Investasi untuk Pembangunan Berkelanjutan" atau disebut sebagai Bali Compendium (Kompendium Bali).

Kompendium sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah ikhtisar karangan ilmiah yang lengkap dan padat. Dalam praktik negosiasi internasional, kompendium berarti kumpulan ringkasan praktik kebijakan yang dalam hal ini terkait kebijakan investasi berkelanjutan.

Bali Compendium diharapkan menjadi acuan kebijakan masing-masing negara dalam merancang dan melaksanakan strategi untuk menarik investasi berkelanjutan. Dalam hal ini, setiap negara diberi kekuasaan dalam menyusun strateginya sesuai dengan keunggulan komparatifnya.

Bagi Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) "Bali Compendium" adalah jalan tengah menuju secercah harapan agar negara lain tidak boleh terlalu mengintervensi negara kita. Dengan kesepakatan Bali Compendium ini, ada pemahaman baru dan kesepakatan baru, yang dilakukan oleh negara-negara G20 untuk menghargai (kebijakan) negara masing-masing.

Dengan kata lain, perjanjian tidak mengikat itu melarang satu negara mengintervensi kebijakan investasi negara lain, khususnya dalam kasus Indonesia, yakni terkait hilirisasi.

Lalu, apa hubungan Bali Compendium dengan kebijakan hilirisasi?

Pemerintah Indonesia memang tengah terus menggalakkan program hilirisasi mineral dan batu bara dalam upaya mendukung penciptaan nilai tambah di dalam negeri.

Hilirisasi penting dilakukan lantaran selama ini Indonesia hanya menggali dan menjual berbagai komoditas yang ada. Berbagai sumber daya alam yang dimiliki Indonesia diolah tanpa ada keuntungan bagi dalam negeri. Bahkan, harga komoditas-komoditas tersebut ditentukan oleh negara maju yang hanya mengimpor nikel dari Tanah Air.

Melalui kesepakatan Bali Compendium tersebut, Indonesia bermaksud mencegah intervensi pihak lain terkait kebijakan hilirisasi yang tengah digalakkan sejak dua tahun lalu.

Pasalnya, kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang kegiatan ekspor bijih nikel demi mendorong industri hilir nikel di dalam negeri sejak sejak 1 Januari 2020 itu ternyata mengecewakan sejumlah pihak.

Larangan ekspor bijih nikel sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.


Dampak hilirisasi

Pemerintah meyakini, perekonomian Indonesia bisa tumbuh lebih pesat melalui hilirisasi. Kegiatan hilirisasi yang bertujuan untuk memberi nilai tambah ke dalam negeri pun ternyata mulai membuahkan hasil.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk turunan nikel meningkat pesat sejak 2020, atau sejak pelarangan ekspor bijih nikel diterapkan. Padahal pada periode 2014-2018, ekspor bijih nikel, feronikel, dan produk turunannya masih berkisar di angka 2,5 miliar Dolar AS.

Permintaan pasar dunia menguat sejak 2019 menyusul kebutuhan stainless steel dan baterai mobil listrik berbasis nikel-kobalt yang terus melonjak. Begitu pula pada 2021, dan berlanjut hingga Agustus 2022 Indonesia mampu mengekspor nikel senilai 12,35 miliar Dolar AS.

Hilirisasi nikel juga dilakukan pemerintah bukan hanya dari pasarnya yang potensial. Hal itu juga dilakukan lantaran Indonesia merupakan negara pemasok nikel dunia.

Indonesia memasok 37 persen dari volume nikel di pasar nikel dunia. Cadangan nikel Indonesia yang sudah teregister tercatat sekitar 21 juta ton setara nikel murni, di atas Australia (20 juta ton), Brasil (11 juta ton), Rusia (6,9 juta ton), Kuba (5,5 juta ton), dan Filipina (4,8 juta ton).

Selain berdampak positif terhadap kinerja ekspor nasional, hilirisasi atas sumber daya alam yang melimpah akan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, meningkatkan nilai tambah serta membuka lapangan pekerjaan.

Di sisi lain, hilirisasi nikel dan mineral lainnya --yang segera menyusul--, juga dilakukan pemerintah seiring dengan upaya mewujudkan mimpi sebagai salah satu pemain dunia industri kendaraan listrik berbasis baterai.

Pengolahan nikel dari pertambangan, peleburan, hingga menjadi baterai dan daur ulangnya diharapkan bisa menjadikan Indonesia salah satu pemain utama industri yang tengah naik daun itu.


Gugatan WTO

Sayangnya, langkah Indonesia mendorong hilirisasi nampaknya tidak semulus perkiraan. Uni Eropa melayangkan gugatan sengketa dagang ke World Trade Organization (WTO) pada November 2019 atas pelarangan ekspor bijih nikel yang dilakukan Indonesia.

Uni Eropa mengklaim peraturan tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) 1994.

Selain itu, Uni Eropa juga menuduh pemerintah Indonesia telah memberikan subsidi yang tidak sesuai kepada industri nikel di dalam negeri.

Setidaknya ada ada 15 negara yang mengklaim hak pihak ketiga dalam gugatan tersebut, yakni Brasil, Kanada, China, Jepang, Korea Selatan, India, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Taiwan, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris dan Amerika Serikat.

Pihak ketiga dalam sebuah gugatan biasanya merupakan entitas yang memiliki kepentingan substantif dalam gugatan yang sedang berlangsung atau terdampak dari hasil gugatan tersebut. Namun, negara yang mengklaim pihak ketiga dapat memberikan opini terhadap gugatan tersebut tanpa harus bertanggung jawab terhadap dampaknya.

Ada pun saat ini Indonesia sedang menunggu hasil akhir gugatan yang sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.

Presiden Jokowi sendiri tidak akan mempermasalahkan apabila Indonesia kalah dalam gugatan tersebut. Pemerintah bersikukuh hilirisasi nikel memang perlu dan tetap dilakukan demi mendorong nilai tambah di dalam negeri.

Barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Kenapa kita harus takut kalah jika dibawa ke WTO? Bagi Indonesia, kalah dalam memperjuangkan ini tidak apa-apa. Apalagi, saat ini Industrinya di Indonesia sudah jadi, sehingga memberi dampak pada perbaikan tata kelola. Pada akhirnya, nilai tambah itu ada di dalam negeri.

Sementara itu, bagi Kementerian Perdagangan, kemungkinan Indonesia akan mengajukan banding jika kalah dalam gugatan tersebut.

Hingga kini, Indonesia masih menunggu hasil panel dan putusannya apa. Indonesia telah menyiapkan beberapa langkah sikap terkait hasil putusan WTO itu.
​​​
Kembali soal kesepakatan Bali Compendium. Bali Compendium akan dibawa Indonesia ke KTT G20 pada November mendatang sebagai salah satu deliverable di Presidensi G20 Indonesia.

Meski diakui Bali Compendium merupakan kebijakan alih-alih "alat" untuk melawan gugatan di WTO, namun kesepakatan itu seharusnya dipahami oleh negara-negara G20 bahwa negara berkembang pun punya kesempatan untuk bisa melakukan kebijakannya sendiri tanpa intervensi pihak lain.

Mestinya ini menjadi pedoman bersama, bukan hanya Indonesia, Afrika Selatan, India, tapi juga oleh negara-negara EU, Amerika, yang juga menyepakati.
​​​​​​
Sebagai kelompok yang menguasai 80 persen perekonomian dunia, G20 seharusnya bisa membuka kesempatan bagi anggotanya untuk bisa berkembang dan maju bersama. Hilirisasi bukan tujuan akhir Indonesia, tapi menjadi langkah awal, termasuk bagi dunia, untuk bisa maju bersama negara maju lainnya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022