Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum salah satu terdakwa kasus korupsi persetujuan ekspor CPO General Manager (GM) Musim Mas Group Pierre Togar Sitanggang, Denny Kailimang, mengklaim bahwa kliennya tersebut merupakan korban atas kelangkaan minyak goreng (migor)

"Kami korban," kata Denny kepada wartawan usai mengikuti persidangan kasus korupsi pengurusan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya pada tahun 2021—2022 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis.

Denny berpendapat bahwa Togar merupakan korban atas peristiwa kelangkaan minyak goreng karena melaksanakan peraturan untuk mengatasi persoalan tersebut yang ada dugaan tidak konsisten atau berubah-ubah sehingga kliennya itu menjadi terdakwa dalam kasus korupsi ini.

Dalam kesempatan yang sama, Denny menduga salah satu peraturan untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, yaitu mengenai harga eceran tertinggi (HET) justru memicu terjadinya kelangkaan minyak goreng di dalam negeri.

Ia berpendapat bahwa penetapan HET minyak goreng sebesar Rp14 ribu per liter yang tidak mengikuti harga minyak sawit mentah internasional yang sudah naik mengakibatkan produsen enggan menjual produknya sehingga terjadi kelangkaan minyak goreng.

"Dengan patokan harga itu, produsen tidak mau menjual produknya," kata Denny.

Hal itu pun, lanjut dia, membuat pasokan minyak goreng di pasaran menurun sehingga menimbulkan kelangkaan.

Terkait dengan minyak goreng yang sudah diproduksi, Denny menilai para produsen tidak berani menjualnya di atas harga pasar.

"Mereka takut jual, takut ditangkap polisi karena HET-nya sudah ada," ujar Denny.

Berawal dari persoalan itu, Kementerian Perdagangan mulai membuat serangkaian kebijakan hingga akhirnya produsen minyak goreng diwajibkan mengalokasikan 20 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri melalui lewat kebijakan domestic market obligation (DMO).

Namun, menurut Denny, dalam peraturan itu, tidak dituliskan mengenai kewajiban produsen untuk memastikan barang produksi mereka sampai ke pelosok daerah dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.

"Melalui adanya 20 persen dengan HET yang ditentukan itu, tidak disebutkan (dipastikan) sampai ke pengecer, hanya sampai D1," ujarnya.

Sebelumnya, di persidangan pada hari Kamis, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan selaku saksi menjelaskan bahwa pada tahap D1 atau distribusi dan pengiriman, para distributor membutuhkan biaya lebih untuk memasarkan minyak goreng yang diberikan oleh produsen sampai ke pelosok daerah.

"Makanya, harganya naik. Inilah masalahnya. Makanya, pada bulan Maret (2022) keluar peraturan harga bebas ikuti harga pasar, cuma minyak curah aja yang Rp14 ribu," ujar Oke.

Dengan adanya peraturan itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Oke, Denny menilai peredaran minyak goreng di dalam negeri kembali terpenuhi.

Selanjutnya dalam keterangannya, kuasa hukum korporasi Musim Mas Refman Basri menyoroti persoalan puluhan perusahaan ekspor minyak goreng yang belum juga diajukan ke persidangan.

Ia mempertanyakan alasan perusahaan-perusahaan tersebut tidak terlibat dalam kasus ini.

"Saya masih bertanya-tanya, perusahaan lain kok didiamkan saja. Kenapa cuma tiga perusahaan yang jadi tersangka? Ke mana perusahaan lainnya?" ucap Refman.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022