Pancasila sejalan dengan paham Islam yang mengambil jalan tengah (washathiyah) atau moderat.
Bondowoso (ANTARA) - Agaknya masih sulit untuk membantah pernyataan bahwa saat ini agama belum bisa diwujudkan untuk menjadi solusi bagi berbagai persoalan, khususnya dalam kerangka relasi antarmanusia.

Bahkan, di sejumlah tempat (negara), agama justru muncul sebagai sumber konflik, yang titik salahnya tidak bisa kita tumpukan saja pada ajaran agama.

Tafsir berbeda atas ajaran atau nilai-nilai suatu agama yang membawa pemeluknya berpegangan pada "nilai kaku" untuk membuat garis pemisah yang tegas dengan pemeluk agama lain atas prinsip agamanya lebih benar dari agama yang lain.

Bukan saja antaragama, di internal agama pun konflik itu tidak bisa dihindari, seperti antara Suni dengan Syiah di Timur Tengah.

Berdasarkan fakta konflik yang terus berlanjut itulah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Forum Religion 20 (R20) di Nusa Dua, Bali, 2-3 November 2022, sebagai rangkaian Presidensi G20.

Direncanakan ada sekitar 160 tokoh lintas agama dari berbagai negara di dunia yang akan hadir pada forum bersejarah itu. Selain itu juga ada 250 partisipan domestik. Hal yang menarik, pada pertemuan itu PBNU berencana menjelaskan fungsi Pancasila dalam merawat harmoni di antara berbagai perbedaan ras, suku, dan agama di Indonesia.

Indonesia memang pantas mempromosikan Pancasila sebagai falsafah bangsa yang memuat nilai-nilai universal untuk menjaga harmoni dalam bingkai keberagaman.

Meskipun tidak sepenuhnya perjalanan bangsa bersih dari konflik, riak-riak yang sempat muncul itu justru makin meneguhkan bahwa Pancasila memang ampuh untuk segera mengikat kembali elemen-elemen yang terburai untuk kembali ke satu napas yang sama, yaitu persatuan.

Konflik antaragama pernah terjadi di Maluku, konflik berbau ras pernah terjadi di Kalimantan, dan intern agama yang pernah terjadi di berbagai tempat, khususnya antara Suni dengan Syiah. Dengan kearifan para tokoh yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, semua itu bisa diselesaikan. Kini mereka yang pernah berkonflik itu kembali hidup berdampingan dengan damai.

Pancasila sejatinya sari pati dari nilai-nilai yang telah lama hidup, dianut, dan dipegang oleh seluruh elemen bangsa ini sejak zaman dahulu. Para pendiri bangsa kemudian meramunya kembali dengan cerdas dalam satu kata "Pancasila".

Pada kajian-kajian ilmiah, termasuk dari para tokoh agama, kemudian sepakat bahwa kandungan dari Pancasila tidak bertentangan dengan agama. Karena itu, mereka menganggap bahwa Pancasila sebagai ideologi sebagai sesuatu yang final dan perlu dilestarikan.

Bahkan, diklaim juga bahwa justru Pancasila bersumber dari nilai-nilai agama itu sendiri, yakni yang di dalamnya mengusung cinta kasih Tuhan untuk manusia dan alam semesta.

Dalam konteks Islam, Pancasila sejalan dengan paham Islam yang mengambil jalan tengah (washathiyah) atau moderat.


Islam dan Pancasila

Hal yang paling mencolok dari pertemuan antara Islam (sebetulnya juga dengan agama-agama lain) dengan Pancasila adalah pada Sila 1 yang berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila itu secara gamblang menitikberatkan berbagai hal dari keberadaan bangsa dengan Negara Indonesia pada satu titik, yakni Tuhan. Artinya, semua praktik berbangsa dan bernegara harus dilandaskan pada nilai-nilai kebaikan dari Tuhan.

Kemudian pada sila-sila berikutnya juga sejalan dengan nilai-nilai agama, seperti persatuan dan masalah keadilan sosial. Boleh dikata semua agama mengajarkan umatnya untuk tidak bercerai berai, bukan dengan pemeluk agama yang sama, melainkan dengan semua umat. Demikian juga dengan masalah keadilan yang tanpa memandang label agama apa pun.

Dalam sebagian penganut Islam sendiri muncul pandangan-pandangan yang bersifat kaku, bahkan mengafirkan mereka yang tidak sepemikiran, meskipun secara formal mereka itu sudah mengucapkan persaksian bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah". Bahkan, di kelompok sayap keras ini, mereka yang sudah bersyahadat itu menghalalkan darah jika akidahnya dinilai tidak sama.

Secara umum, Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat atau wasathan/washathiyah.

Karena itu, Guru Besar UIN Syarif Hidasyatullah Prof. Azyumardi Azra (almarhum) semasa hidupnya sampai pada keyakinan bahwa masa depan Islam itu ada di Indonesia.

Bagi Azra, umatan wasathan itu hanya ada di Indonesia. Dia bercerita bahwa salah seorang Grand Syaikh Al Azhar mengatakan bahwa di Mesir sudah lama ingin mengembangkan Islam wasathiyah, tapi belum terwujud.

Keinginan itu tidak kunjung terwujud karena antara semangat Islam wasthiyah dengan budaya setempat tidak saling kompatibel, seperti yang ada di Indonesia.

Kita semua tahu bahwa banyak budaya di Nusantara yang kemudian menjadi budaya baru ketika disandingkan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya, selamatan hari kelahiran seseorang diisi dengan pembacaan shalawat atau acara meruwat alam juga bisa bersanding dengan nilai-nilai Islam.

Dalam konteks Islam, Indonesia memiliki dua sayap kokoh yang saling menguatkan untuk terwujdunya Islam wasathiyah itu, yakni organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah. NU membawa jargon "Islam Nusantara", sementara Muhammadiyah dengan "Islam Berkemajuan".

Maka, sudah tentu menjadi sesuatu yang menarik jika kegiatan Forum R20 yang menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, PBNU membawa dan menjelaskan mengenai fungsi Pancasila untuk menjaga agar dunia selalu damai, yang berangkat dari niatan tulus untuk mewujudkan nilai-nilai suci dari agama-agama, yakni menghadirkan misi utama atau kasih sayang Tuhan di Bumi. ***2***









 

Copyright © ANTARA 2022