Semarang (ANTARA) - Sejarah partai politik di Indonesia diwarnai dua arus besar ideologi, yakni nasionalisme dan Islam. Dua corak ini masih bertahan hingga kini dengan masing-masing menggarap segmen pemilih yang berkembang dinamis.

Dari hasil Pemilu 2019, tercatat dua partai berasas Islam yang berhasil menempatkan wakil-wakilnya di DPR RI, yakni Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.

Begitu pula Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, juga berhasil mengirimkan wakil-wakilnya di parlemen pusat. Meski tidak mencantumkan asas Islam, kedua partai ini -- setidaknya pada keikutsertaannya pada Pemilu 1999 -- masih mengandalkan basis dukungan massa dari ormas besar Islam, yakni NU dan Muhammadiyah.

Sejak awal kelahirannya, PKB dan PAN memang tidak hanya mengakomodasi kalangan Islam. Corak nasionalisme PKB dan PAN juga terbaca jelas dari pemilihan nama partai dengan penggunaan lema “Bangsa” (PKB) dan “Nasional” (PAN). Dua kata yang maknanya lebih dekat dengan nasionalisme.

Oleh karena itu, bisa dimengerti bila dalam susunan kepengurusan kedua partai yang disebut terakhir tersebut lebih beragam, bukan hanya mengakomodasi kalangan muslim.

Dalam perjalanan sejarah dan dinamika politik di Indonesia, PPP dan PKS di kemudian hari juga mengakomodasi calon anggota legislatif dari kalangan non-muslim. Bahkan, perkembangan terakhir, PKS yang secara tegas menyebut berasas Islam, pada awal tahun 2022 melantik pemeluk Kristen, Evalina Heryanti, sebagai Anggota Dewan Pakar DPP PKS.

Ini merupakan langkah yang cukup mengejutkan mengingat selama ini PKS hanya mengakomodasi caleg non-muslim, terutama di daerah-daerah dengan penduduk mayoritas Kristen atau Katolik. Adapun kepengurusan di semua level hanya diisi fungsionaris beragama Islam.

Sebenarnya kebijakan akomodatif PKS sudah berlangsung lama. Dalam pilkada, PKS berkoalisi kerap dengan partai-partai lain ikut mengusung calon kepala daerah beragama non-muslim.

PPP sejauh ini juga menerapkan kebijakan serupa, memberi ruang caleg-caleg non-muslim untuk ikut berlaga dalam setiap pemilihan anggota parlemen melalui partai berlambang Kakbah tersebut.

Kebijakan akomodatif PKS dan PPP tersebut bisa ditafsirkan bahwa kedua partai ini makin inklusif, bahkan PKS malah melangkah lebih jauh dengan menempatkan perempuan politikus non-muslim di dalam struktur DPP.

Langkah kedua partai tersebut juga menyiratkan sikap mereka untuk menerima realitas atas keberagaman Indonesia. Lebih dari itu, ada tujuan pragmatisnya, yakni untuk memperluas dukungan suara dalam setiap pemilu dan pilkada, sehingga ekspansi tersebut memang diperlukan.

Sejarah pemilu di Indonesia yang dimulai pada tahun 1955 menunjukkan bahwa partai Islam belum pernah menjadi juara. Setelah Reformasi, partai-partai Islam juga kedodorran untuk menembus posisi kedua sekalipun. Bahkan, secara akumulasi, perolehan suara partai-partai Islam juga tidak pernah melampaui 50 persen dari suara sah setiap pemilu.

Oleh karena itu, kebijakan PKS dan PPP, juga PKB serta PAN, memperluas pencarian suara di luar kantong-kantong suara tradisionalnya, merupakan keniscayaan bila ingin memperluas dukungan. Kalau tidak, perolehan suara mereka bakal stagnan bahkan tergerus karena partai-partai nasionalis juga aktif mencari tambahan suara dari kantong-kantong suara muslim.

Sejumlah partai nasionalis, melalui organisasi sayapnya, juga aktif menggarap kantong-kantong umat Islam melalui beragam kegiatan keagamaan yang bersentuhan langsung dengan umat. PDIP, misalnya, melalui Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Golkar melalui Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), GUPPI, Satkar Ulama, dan Al Hidayah. Begitu pula Gerindra dengan Gerakan Muslim Indonesia Raya atau Gemira.

 

Fleksibilitas kerja sama

Sepak terjang partai-partai politik di Indonesia, terutama sejak Reformasi, terlihat bahwa langkah dan kebijakan politiknya cenderung pragmatis, terutama dalam mengusung calon kepala daerah hingga presiden dan wakil presiden.

Kesamaan ideologi dalam arus besar Islam dan nasionalis bukan lagi menjadi pertimbangan utama, melainkan lebih mengarah bagaimana potensi pasangan calon yang diusungnya bisa meraih kemenangan dan kemudian partai-partai tersebut bisa mendapatkan manfaat atas terpilihnya calon tersebut.

Kelenturan dan pragmatisme tersebut terlihat jelas ketika sejumlah partai yang sebelumnya pada Pilpres 2019 mendukung Prabowo Subianto, seperti PAN, kemudian putar haluan menjadi bagian dari pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Hanya PKS dan Demokrat yang bertahan di singgasana oposisi. Demokrat, Partai Keadilan, dan PBB merupakan koalisi yang berhasil membawa Susilo Bambang Yudhoyono memenangi Pilpres 2004. Koalisi Demokrat dan PKS berlanjut pada Pilpres 2009 dengan didukung PKB, PAN, PPP, PBB, dan sejumlah partai kecil lainnya, yang kemudian mengantarkan duet SBY-Budiono memenangi pilpres.

Fleksibilitas tersebut menegaskan kerja sama partai-partai di Indonesia memang tidak didasari kesamaan ideologi, dalam hal ini nasionalisme dan Islam. Ada kesadaran pentingnya membangun Indonesia yang beragam dengan mengakomodasi ruang-ruang berbagai kelompok dan kepentingan.

Partai-partai nasionalis bersama partai-partai Islam juga kian mengakomodasi umat, misalnya, UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Indonesianis William R. Liddle menggarisbawahi bahwa partai-partai besar seperti Golkar, Demokrat, dan PDIP isinya (kader) majemuk, sedangkan partai berbasis Islam juga tak mengikuti langkah faksi politik kanan di beberapa negara Timur Tengah.

Partai-partai berbasis Islam tetap akan mempertahankan corak keagamaan namun akan memberi peluang masuknya kalangan non-muslim. Begitu pula partai-partai nasionalis, mereka akan memberi ruang proporsional bagi pemuka-pemuka Islam untuk bergabung di partai-partai tersebut.

Melebarkan pintu partisipasi politik dari semua latar belakang merupakan pilihan realistis di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Karena, tanpa memiliki topangan pemilih beragam latar belakang agama, sosial, etnis, dan budaya, partai sulit mempertahankan eksistensinya.

Alih-alih berkembang, mereka malah bisa terlempar dari parlemen akibat gagal memenuhi ambang batas minimal 4 persen perolehan suara. Ambang batas ini menjadi momok bagi partai-partai yang dalam setiap pemilu perolehan suaranya hanya bergerak 4-7 persen.

Sementara itu, dari jagat maya yang dihuni mayoritas anak muda, penghargaan akan keberagaman terus didengungkan generasi baru bangsa ini. Jadi, partai yang mengabaikan kemajemukan Indonesia bakal kehilangan relevansinya pada masa depan. ***2***
 

Copyright © ANTARA 2022