Denpasar (ANTARA) - Cara paling mudah dalam menyikapi peristiwa apapun adalah menyalahkan orang lain, apalagi tema "menyalahkan" itu menjadi menu utama dalam gosip, yang sejak lama menjadi hobi bangsa ini.

Celakanya, gosip itu kini lebih gaduh lagi, karena difasilitasi teknologi bernama media sosial (medsos). Runyam, kan?

Tidak terkecuali, Tragedi Kanjuruhan. Tragedi yang bermula dari untuk pertama kalinya Arema kalah dari Persebaya setelah 23 tahun.

Ada video yang menayangkan peristiwa versi suporter yang menyalahkan polisi karena menggunakan gas air mata yang dilarang FIFA, tapi ada juga scan surat izin kepolisian yang menyalahkan panitia karena menggeser jam pertandingan pada malam hari, padahal disarankan sore.

Ada juga suara/voice tentang suara pedagang dawet tentang suporter. Bahwa suporter menyasar pemain dan pelatih, lalu polisi berusaha menghalangi dengan tendangan dan pukulan, sehingga massa suporter bertambah dan mengamuk dalam kondisi mabuk.

Dalam situasi yang gaduh, kacau, dan perusakan yang meluas, polisi pun menggunakan gas air mata, sehingga massa panik dan kalang kabut menuju satu pintu hingga berjubel, berdesak, dan terjadi saling injak, sebagian mengalami sesak nafas hingga meninggal.

Tayangan video-video itu menjadi sorotan dari tokoh pers H Dahlan Iskan dalam catatan yang bertajuk "Tragedi Bola Kanjuruhan" (3/10/2022). Mantan Menteri BUMN itu menyatakan Arema baru saja kalah di kandang sendiri: lawan Persib Bandung. Masak, kalah lagi. Lawan Persebaya pula.

Maka gemes itu memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu Arema sendiri. Stadion yang penuh dengan 40.000 penonton tidak segera longgar. Mereka tetap di stadion. Tidak banyak yang meninggalkan tempat untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Mereka belum beranjak. Masih ribut dengan teriakan. Juga lemparan.

Di dalam stadion, para pemain yang berkumpul di tengah lapangan berinisiatif bersama-sama berjalan ke arah tribun penonton. Gestur tubuh mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Mereka melangkah pelan ke arah tribun.

Tiba-tiba terlihat satu penonton meloncat pagar. Ia lari masuk lapangan. Ia menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Penonton itu terlihat merangkul kiper. Lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi sesegera itu beberapa penonton lagi berhasil meloncati pagar. Mereka juga menuju pemain Arema.

Kian banyak saja yang berhasil meloncati pagar. Lapangan pun mulai penuh. Petugas keamanan bertindak. Terlihat di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Menendang. Mementung. Memukul.


"Tidak menyalahkan"

Dahlan Iskan mencatat adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap.

Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.

Dari situlah tragedi itu meledak. Dahlan Iskan menilai tragedi yang terjadi ini bukan Arema lawan Persebaya. Bukan Aremania lawan Bonek. Ini penonton lawan petugas. Nah, menghardik mereka hanya menambah emosi. Apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Yang bikin panik, bikin sesak, bikin berdesakan. Kita juara dunia sepak bola di segi tragedinya.

Ya, catatan Dahlan Iskan itu mengerucut pada dua sisi, yakni suporter atau petugas keamanan, yang sama-sama punya peran untuk salah, karena sama-sama emosi.

Langkah terbaik menyikapi "gosip" maya di medsos adalah bersikap kritis dan sabar serta mengembalikan proses mencari siapa yang salah kepada pihak berwenang dalam kurun waktu tertentu, bukan terburu-buru memvonis.

Pihak lain seperti kita yang tidak terlibat dalam pusaran masalah itu sebaiknya fokus pada penanganan korban, karena tindakan "menyalahkan" justru akan melahirkan solusi yang bukan dari (penyelidikan) "sanad" (ahlinya), melainkan oleh praduga dan saling curiga yang bukan solutif.

Pernyataan menarik yang "tidak menyalahkan" justru datang dari kelompok suporter Persebaya, Bonek Mania. Mereka menilai kemenangan tim Bajol Ijo melawan Arema FC pada Liga 1 Indonesia tidak ada artinya dibandingkan hilangnya nyawa manusia.

Koordinator suporter Bonek Mania Husin Ghazali mengaku sangat menyesalkan dan prihatin atas kejadian ini. Semoga tragedi ini menjadi insiden terakhir, katanya (2/10/2022).

Baginya, rivalitas kedua tim hanya 90 menit di lapangan dan selebihnya harus saling menghormati. Ia berharap dilakukan evaluasi semua pihak sekaligus dilakukan pembenahan demi kebaikan dan menuju sepak bola yang bisa dinikmati semua kalangan.

Ya, pernyataan bonek itu cukup menarik, namun pernyataan yang menarik itu tidak ada di medsos, karena video, foto dan narasi di medsos justru satu komando, yakni mencari siapa yang salah.

Sesungguhnya, pernyataan menarik itu merupakan pernyataan yang melahirkan empati/kasih sayang (memperlakukan semua orang di dunia maya dengan bermartabat dan hormat), menghormati perbedaan, berpikir sebelum posting, dan membela orang lain dengan dukungan respons (menyelamatkan atau menolong).

Copyright © ANTARA 2022