di Merapi itu orang-orang lebih berpikir bagaimana menyelamatkan sapi-sapi karena itu adalah sumber penghidupan
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Yayasan Pikul Torry Kuswardono mengatakan konsep penghidupan sebagai objek pembelajaran dalam membicarakan krisis atau ancaman bencana hidrometeorologi jauh lebih efektif untuk petani dan nelayan dibandingkan bicara tentang cara bertahan agar mereka selamat dari bencana.

"Membicarakan tentang krisis atau ancaman bencana hidrometeorologi di kalangan petani atau nelayan dalam hubungannya dengan penghidupan mereka itu jauh lebih kena, dibanding bicara soal hanya bagaimana bertahan agar mereka tetap selamat tanpa tema-tema yang terkait penghidupannya," kata Torry dalam Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas XV yang dipantau di Jakarta, Selasa.

"Di beberapa tempat, salah satu caranya adalah membangun kelompok tani tangguh atau membangun kelompok nelayan yang tangguh. Jadi, sangat terkait dengan penghidupan mereka," imbuhnya.

Torry menjelaskan masyarakat tidak hanya berpikir tentang jiwa dan rumah dalam berbagai upaya pemulihan pasca bencana, tapi juga aset penghidupan mereka.

Baca juga: Belajar kearifan Suku Sasak dalam mitigasi bencana
Baca juga: Doni Monardo ajak belajar mitigasi bencana dari cara Soleman

Ia pun mengungkapkan pengalaman saat bertugas di Nusa Tenggara Timur di mana usai siklon tropis melanda, nelayan tidak terlalu banyak memikirkan tempat mereka bernaung, tetapi yang mereka dahulukan adalah perahu sebagai alat untuk mencari sumber penghidupan di laut.

"Rumahnya tidak apa-apa agak (rusak) nanti pelan-pelan bisa diperbaiki, tapi yang mereka pusingkan itu justru perahu, karena tanpa perahu itu keberlanjutan hidup mereka justru tidak ada," kata Torry.

"Saya kira di tempat lain juga sama. Setahu saya kalau di Merapi itu orang-orang lebih berpikir bagaimana menyelamatkan sapi-sapi karena itu adalah sumber penghidupan mereka," ujarnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa pendekatan terkait penghidupan perlu diberikan ruang yang bukan hanya bicara tentang domisili, tetapi juga bicara tentang profesi.

Baca juga: Delegasi Jepang belajar mitigasi bencana gunung api ke Sleman
Baca juga: Jawa Barat belajar mitigasi gempa dari Jepang

Bagi Torry, interseksionalitas dari seseorang itu penting untuk diperhatikan dan dikembangkan menjadi kekuatan karena pembelajaran di lapangan banyak berangkat dari mata pencaharian dan penghidupan.

Apabila berbicara peta jalan pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas, maka berbagai perbedaan mengenai penghidupan harus menjadi perhatian atau dirumuskan di dalam siapanya yang harus diperkuat.

"Di banyak pembelajaran yang disebut resilence sebetulnya bukan hanya adanya aturan dan segala macam di dalam desanya, tetapi adalah unit kerja. Jadi, kelompok kolektif aktor yang memang bekerja," jelas Torry.

"Inilah yang disebut sebagai resilence, kelompok orang yang terus membangun dan belajar bagaimana membangun resilence," tambahnya.

Baca juga: Mendikbud: guru sisipkan pengalaman belajar mitigasi bencana
Baca juga: BMKG: Perluas SLCN bantu tingkatkan mitigasi bencana hidrometeorologi
Baca juga: Palembang mulai sosialisasikan upaya mitigasi bencana ke petani

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022