Setiap kejadian selalu dievaluasi dilihat secara utuh tiga hal terkait sistem hukum (legal system).
Jakarta (ANTARA) - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan Polri melakukan analisa dan evaluasi secara rutin setiap kejadian yang menyangkut keamanan melibatkan massa seperti Tragedi Kanjuruhan.

“Setiap kejadian selalu dievaluasi dilihat secara utuh tiga hal terkait sistem hukum (legal system),” kata Dedi, saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu, menanggapi artikel yang ditulis oleh media internasional New York Time yang menyebutkan Polri kurang terlatih kendalikan massa di Kanjuruhan.

Selain itu, koran harian terbitan New York itu mengulas pendapat para ahli, salah satunya terkait impunitas Polri. Polisi disebut tidak pernah dimintai pertanggungjawabannya setiap kali ada kejadian.

Dedi pun menjelaskan terkait tiga sistem hukum yang dianut Polri dalam melakukan analisis dan evaluasi setiap bila ada kejadian, yang pertama substansi atau instrumen hukumnya. Kedua, struktur hukumnya dan yang ketiga budaya hukumnya.

Ia juga menyinggung terkait diskresi yang dimiliki oleh anggota Polri.

“Dan diskresi kepolisian secara universal bahwa setiap polisi berdasarkan penilaiannya dapat mengambil tindakan yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku,” ujarnya.

Ketiga instrumen sistem hukum tersebut, dan diskresi itu, kata dedi, dilakukan analisis dan evaluasi (anev), yang akan terus dilatih oleh jajaran Polri.

“Itu semua dianev dan terus akan dilatih,” kata Dedi.

Terkait tudingan impunitas Polri, Dedi menegaskan bahwa pertanggungjawaban secara personal terus dilakukan kepada anggota yang kedapatan melakukan pelanggaran baik secara pidana maupun Komisi Kode Etik Polri (KKEP).

“Setiap kesalahan yang dilakukan oleh personel sesuai pertanggungjawaban personal akan ditindak sesuai peraturan yang berlaku baik pidana dan KKEP,” kata Dedi.

Polri telah melakukan penyidikan terkait tragedi Kanjuruhan, sejumlah pihak termasuk anggota polisi telah diperiksa baik oleh penyidik maupun Inspektorat Khusus. Pemeriksaan dilakukan guna segera menetapkan tersangka yang bertanggung jawab atas hilangnya 131 nyawa.

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang bermula saat ribuan pendukung Arema FC masuk ke area lapangan, setelah klub kebanggaan mereka kalah dari Persebaya dengan skor 2-3.

Pendukung Arema FC merasa kecewa, sehingga beberapa suporter turun ke lapangan untuk mencari pemain dan ofisial.

Petugas pengamanan kemudian melakukan upaya pencegahan dengan melakukan pengalihan agar para suporter tersebut tidak turun ke lapangan dan mengejar pemain. Dalam proses itu, akhirnya petugas melakukan tembakan gas air mata.

Menurut Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta, penembakan gas air mata tersebut dilakukan karena para pendukung tim berjuluk "Singo Edan" yang tidak puas dan turun ke lapangan telah melakukan tindakan anarkis dan membahayakan keselamatan para pemain dan ofisial.
Baca juga: Mahfud MD minta TGIPF Kanjuruhan selesaikan tugas dalam dua pekan
Baca juga: Kasad serahkan proses ke TGIPF soal oknum TNI tendang Aremania


Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022