Jakarta (ANTARA) - Kantor Riset Makroekonomi ASEAN+3 (AMRO) hari ini merevisi turun perkiraan pertumbuhan jangka pendek untuk kawasan ASEAN+3 pada tahun 2022 dari 4,3 persen di bulan Juli menjadi 3,7 persen pada Oktober.

Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor mengatakan kebijakan ketat nol-COVID-19 yang dinamis dan pelemahan sektor real estat di Tiongkok, serta potensi resesi di Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa membebani prospek kawasan.

"Perlambatan ekonomi simultan di AS dan kawasan Eropa, dalam hubungannya dengan pengetatan kondisi keuangan global, akan memiliki efek limpahan negatif bagi kawasan melalui jalur perdagangan dan keuangan," ujar Khor dalam konferensi pers Quarterly Update on ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2022 yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.

Untuk diketahui, ASEAN+3 terdiri dari 10 negara ASEAN ditambah tiga negara Asia yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea.

Meski terdapat penurunan perkiraan pertumbuhan ASEAN+3, ia menyebutkan kawasan ASEAN kemungkinan akan tumbuh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, yakni dari 5,1 persen menjadi 5,3 persen pada tahun 2022. Namun untuk tahun 2023, proyeksi tersebut menurun dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen.

Baca juga: Kawasan ASEAN+3 diproyeksikan tumbuh 6,1 persen pada 2021

Sementara penurunan proyeksi signifikan lebih cenderung kemungkinan terjadi di negara plus-3, yaitu dari 4,1 persen menjadi 3,3 persen di 2022 serta dari 4,9 persen menjadi 4,5 persen di tahun 2023.

Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 akan meningkat di tahun 2023 menjadi 4,6 persen yang disebabkan peningkatan ekonomi Tiongkok, dengan proyeksi inflasi ASEAN+3 yang moderat menjadi sekitar 3,4 persen.

Khor menjelaskan perang berkepanjangan di Ukraina memperdalam krisis energi Eropa, mendorongnya mendekati resesi. Di AS, pengetatan moneter yang agresif untuk melawan inflasi yang terus-menerus tinggi meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya hard landing alias kesulitan mengakhiri periode kelebihan permintaan dan inflasi tanpa memicu resesi.

Di ASEAN+3, inflasi terjadi semakin cepat, dimana harga makanan dan bahan bakar tetap tinggi meskipun ada penurunan baru-baru ini dalam tolok ukur komoditas global utama. Pemotongan subsidi di beberapa ekonomi dan depresiasi mata uang juga telah mendorong harga lebih tinggi.

“Bank sentral di kawasan menaikkan suku bunga kebijakan untuk menjaga stabilitas harga dan mendukung mata uang mereka. Namun, laju pengetatan moneter umumnya lebih terukur dan bertahap daripada di AS dan Kawasan Eropa," ungkapnya.

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022