dan bahkan ketika pertumbuhan positif, itu akan terasa seperti resesi karena pendapatan riil menyusut dan harga naik
Washington (ANTARA) - Pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan ada sebuah "perubahan mendasar" dalam ekonomi global yang mendesak negara-negara untuk menurunkan inflasi, menerapkan kebijakan fiskal bertanggung jawab, serta bersama-sama mendukung emerging market dan perekonomian berkembang.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Kamis (6/10), mengatakan ekonomi global bergerak dari dunia yang relatif mudah diprediksi menjadi dunia dengan lebih banyak kerapuhan dan dengan ketidakpastian lebih besar.

"Dari sebuah dunia yang relatif mudah diprediksi, dengan kerangka kerja berbasis aturan untuk kerja sama ekonomi internasional, suku bunga rendah, dan inflasi rendah, ke dunia dengan lebih banyak kerapuhan dengan ketidakpastian yang lebih besar, volatilitas ekonomi yang lebih tinggi, konfrontasi geopolitik, dan bencana alam yang lebih sering dan menghancurkan," kata Georgieva dalam pidato menjelang Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 2022 pekan depan.

Dalam upaya menstabilkan ekonomi, Georgieva menyatakan pandangan global telah terbayangi oleh berbagai guncangan, di antaranya perang dan inflasi yang menjadi lebih persisten.

IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhannya sebanyak tiga kali sejak Oktober 2021, menjadi hanya 3,2 persen untuk 2022 dan 2,9 persen untuk 2023, kata Georgieva. Ketua IMF tersebut menambahkan bahwa lembaga global itu akan menurunkan proyeksi pertumbuhan untuk tahun depan dalam World Economic Outlook terbarunya.

"Kami akan memperingatkan bahwa risiko resesi meningkat," tukasnya.

IMF juga memperkirakan bahwa negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami setidaknya dua kuartal kontraksi berturut-turut di 2022 atau 2023.

"Dan bahkan ketika pertumbuhan positif, itu akan terasa seperti resesi karena pendapatan riil menyusut dan harga naik," katanya.

Secara keseluruhan, IMF memperkirakan kerugian output global sekitar 4 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp15.197) hingga 2026 nanti. Angka tersebut setara dengan skala ekonomi Jerman yang menjadi sebuah kemunduran besar-besaran bagi perekonomian dunia.
 
   Ketua IMF Kristalina Georgieva


"Nilai dolar yang lebih kuat, biaya pinjaman yang tinggi, dan arus keluar modal mengakibatkan pukulan tiga kali lipat ke banyak emerging market dan perekonomian berkembang," kata Georgieva.

Dia mengatakan kemungkinan arus keluar portofolio dari emerging market selama tiga kuartal ke depan telah meningkat menjadi 40 persen, yang dapat menimbulkan tantangan besar bagi negara-negara dengan kebutuhan pendanaan eksternal yang tinggi.

Lebih dari seperempat negara dengan ekonomi berkembang sedang mengalami gagal bayar atau memperdagangkan obligasi pada tingkat yang tertekan. Selain itu, lebih dari 60 persen negara berpenghasilan rendah telah atau berisiko tinggi mengalami kesulitan membayar utang.

Georgieva mendesak negara-negara untuk bekerja sama mengatasi berbagai masalah, seperti kerawanan pangan yang saat ini memengaruhi hingga 345 juta jiwa, serta perubahan iklim dan ancaman eksistensial bagi umat manusia.

Sejak pandemi COVID-19 mulai merebak, IMF telah memberikan bantuan senilai 258 miliar dolar AS kepada 93 negara. Kemudian, sejak perang antara Ukraina dan Rusia, IMF telah membantu 16 negara dengan dana hampir 90 miliar dolar AS. Itu merupakan tambahan dari alokasi Hak Penarikan Khusus (SDR) senilai 650 miliar dolar AS tahun lalu.

Pewarta: Xinhua
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022