Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Pangeran Erickson Arthur Siahaan, Sp.KJ berpesan agar orang tua wajib hadir tidak saja secara fisik melainkan juga secara emosional di dalam setiap perkembangan dan pertumbuhan sehingga diharapkan anak terhindar dari gangguan mental.

“Kita sebagai orang tua itu wajib hadir di dalam hidup anak-anak kita. Wajib hadir itu bukan hanya perkara hadir secara fisik saja, tapi juga perlu ada secara emosional,” kata dokter lulusan Universitas Indonesia itu dalam webinar yang diikuti di Jakarta, Senin.

Dengan hadir secara fisik dan emosional, maka anak akan merasa aman ketika membutuhkan perlindungan hingga membutuhkan dukungan untuk mengeluarkan potensi terbaiknya.

Erickson menggarisbawahi pentingnya orang tua untuk menerapkan pola asuh yang baik yang ia sebut sebagai “good enough parent”, artinya tidak terlalu otoriter tetapi juga tidak terlalu permisif. Pola asuh tersebut berarti tidak memaksakan kehendak orang tua pada anak, terutama terkait dengan potensi anak.

Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya orang tua untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anak agar sesuai dengan tahapan di kelompok usianya. Orang tua juga perlu memberikan apresiasi kepada anak ketika mereka bisa memberikan kemajuan sekecil apapun.

Erickson mengatakan ketika tidak terjadi keseimbangan di antara kombinasi dari faktor biologis, psikologi, dan sosial, maka hal tersebut bisa menjadi cikal bakal dari gangguan mental pada anak.

Baca juga: Psikiater: Waspadai gejala gangguan mental pada anak

“Sebagai orang tua perlu observasi supaya kita tahu perkembangan anak kita hari demi hari seperti apa. Apakah ini sudah sesuai dengan usianya atau tidak. Karena gangguan mental itu sendiri atau gangguan perkembangan anak, banyak ragamnya,” ujarnya.

Menurutnya, kesehatan mental yang sering dihadapi oleh populasi anak misalnya adanya pengabaian dari orang tua, kondisi kekerasan, kurangnya pola asuh yang baik, hingga hal-hal tersebut bisa menimbulkan distress yang berlebihan.

Ia menambahkan bahwa gangguan kesehatan mental pada anak dapat diawali dengan distress yang terjadi secara terus-menerus. Padahal, usia anak merupakan periode bertumbuh dan berkembang. Dengan demikian, penting sekali anak untuk mendapatkan pola asuh yang seimbang dari orang tua atau pelaku rawat.

“Bedanya anak dengan dewasa, kalau anak adalah mereka yang sedang bertumbuh dan berkembang. Anak itu berbeda, mereka adalah populasi yang unik sekali karena sedang belajar menganalisa segala pengalaman yang baru,” kata Erickson.

Erickson menegaskan penting pula orang tua untuk mengetahui deteksi dini atas perubahan perilaku dan emosi pada anak. Diharapkan apabila terdapat potensi terjadinya gangguan mental, maka dapat dengan cepat untuk ditangani sehingga pemulihan bisa lebih terjadi.

Ia mengatakan deteksi dini atau skirining dapat dilakukan dimulai dari pengisian lembar strengths and difficulties questionnaire (SDQ) yang diisi oleh orang tua dan guru sebagai orang terdekat yang mengamati perilaku dan emosi pada anak.

Menurutnya, kuesioner tersebut baik digunakan sebagai rekomendasi skrining gangguan mental pada anak usia hingga 17 tahun. Meski demikian, tegas Erickson, SDQ bukanlah metode untuk mendiagnosis.

Erickson juga mengimbau agar orang tua tidak melakukan diagnosis anak sendiri, apalagi hanya berdasarkan informasi dari internet. Apabila kondisi anak berada di luar kendali orang tua, ia menganjurkan orang tua untuk mengonsultasikannya dengan profesional kesehatan mental.

“Kita boleh lebih aware. Tapi alangkah baiknya ketika kita sudah aware, kita lanjutkan pemeriksaan lebih lanjut agar tata laksana nanti dapat berjalan dengan baik,” katanya.

Baca juga: Mensos kabulkan keinginan ODGJ usia anak teruskan sekolah
Baca juga: Anak Indonesia alami kesehatan jiwa ringan capai 9,8 persen

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022