Apabila melakukan kesalahan, suporter itu bisa dilarang menonton pertandingan di stadion
Jakarta (ANTARA) - Tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022, usai laga Liga 1 Indonesia 2022-2023, Arema FC versus Persebaya, menggoreskan duka yang mungkin tak akan pernah sirna.

Sebanyak 131 suporter Arema FC meninggal dunia dan ratusan lainnya harus dirawat di rumah sakit akibat peristiwa tersebut. Pemerintah Indonesia, PSSI dan semua pihak terkait pun melakukan penyelidikan demi menemukan akar masalah dan pelaku yang bertanggung jawab.

Meski begitu, ada beberapa pihak yang cenderung menyalahkan suporter atas kejadian itu. Kalimat seperti “Andai mereka tidak turun ke lapangan, polisi tidak akan menembakkan gas air mata” kerap menggaung di ruang-ruang publik termasuk dunia maya.

Tentu tidak elok cuma menuding satu pihak untuk kejadian yang melibatkan kelompok lain dalam prosesnya. Hanya menunjuk suporter sebagai biang kerusuhan memperlihatkan betapa masyarakat belum menyadari peran penting suporter sebagai penggerak sejarah sepak bola nasional.

Mari kembali ke tahun 1931, atau setahun setelah PSSI berdiri. Ketika itu, PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo menggelar kompetisi internal pertamanya yakni “Steden Wedstrijden” PSSI atau turnamen antarkota dengan Solo sebagai tuan rumah. Pertandingan digelar di alun-alun, bukan lapangan untuk sepak bola.

Kejuaraan yang dimenangi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), kini dikenal sebagai Persija, itu ternyata menarik perhatian banyak suporter. Pendukung VIJ, misalnya, mengelu-elukan pemain andalan tim kesayangannya, Soemo, anak Betawi yang dikenal memiliki tendangan keras.

Menurut Eddi Elison dalam buku “Soeratin Sosrosoegondo, Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak bola Kebangsaan” (2014), ramainya para pendukung itulah yang membuat pemimpin Keraton Surakarta Sri Susuhan Pakubuwana X memutuskan untuk membangun sebuah stadion megah yang dapat dipakai untuk laga-laga sepak bola yakni Stadion Sriwedari. Stadion ini kelak menjadi tempat pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) I pada tahun 1946.

Euforia suporter tersebut pada akhirnya memengaruhi jalannya kompetisi sepak bola nasional sejak 1930-an. Bukan cuma klub, suporter juga setia menyokong perjuangan tim nasional Indonesia. Timnas Indonesia pertama sejak kemerdekaan dibentuk mulai tahun 1950 dan pertama kali bertanding di Asian Games I tahun 1951 di New Delhi, India.

R. N. Bayu Aji di bukunya “Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia Era Soekarno 1950-1965” (2022) menyatakan bahwa pada masa kolonialisme, suporter memanfaatkan pertandingan sepak bola untuk menyuarakan kekesalannya terhadap Belanda.

Umpatan “Londho go*l*k”, “gasak wae”, disebut Bayu Aji sering terdengar di stadion ketika kesebelasan Bumiputra bertanding melawan tim dari Belanda.

“Di mana hal itu tidak bisa dilakukan di luar stadion karena struktur sosial kemasyarakatan dikonstruksikan ketat,” tulis Bayu.

Bahkan, suporter sepak bola Indonesia ternyata berkembang secara pemikiran dari tahun ke tahun. Dari awalnya hanya sekadar mendukung dan menyerang Belanda melalui kata-kata di stadion, mulai tahun 1950-an mereka mulai menyadari pentingnya antidiskriminasi dan keterlibatan suporter perempuan di dalam stadion.

Perwakilan suporter tak jarang menuliskan keluh kesah mereka di media-media cetak yang tersebar luas di publik kala itu seperti Madjalah Olahraga. 

Popularitas sepak bola yang terus meningkat dan perkembangan teknologi membuat suporter Indonesia tidak harus datang ke stadion untuk mengikuti laga tim favoritnya.

Ketika belum ada televisi, mereka memanfaatkan radio. Menariknya, mirip seperti sekarang, suporter pada tahun 1950-an juga kritis terhadap kualitas siaran langsung yang saat itu disajikan oleh radio.

Kritik itu, demikian ditulis di buku itu, dibahas di media cetak seperti mingguan populer “Star Weekly” yang membuat penyedia layanan radio pemerintah yakni RRI memperbaiki kualitas produksinya. 
 

Piala Dunia U-20

93 tahun dari hari lahir PSSI, Indonesia akan menggelar turnamen prestisius Piala Dunia U-20 2023 untuk kali pertamanya.

Akan tetapi, selepas kejadian di Stadion Kanjuruhan dan peristiwa-peristiwa serupa yang juga memakan korban, ada kekhawatiran bahwa suporter Indonesia belum siap untuk menyaksikan langsung kompetisi itu di stadion.

Sikap suporter yang bengis, doyan kekerasan, dan fanatik mengambang dalam bayangan kaum pesimistis. Mereka seperti menganggap pendukung sepak bola di Indonesia seperti sekumpulan patung yang tak bisa belajar dari keadaan.

Padahal, sikap dasar suporter sejatinya belum berubah dari dahulu. Ketika menyadari bahwa mereka salah, suporter secara kolektif akan melakukan perubahan-perubahan baik kecil maupun besar.

Setelah tragedi Kanjuruhan, misalnya, suporter Indonesia mencetuskan solusi dari mereka sendiri agar peristiwa tersebut tak terulang lagi yaitu menggalang perdamaian. Mereka tidak perlu disuruh-suruh, tak perlu diperintah.

Salah satu momen penting dari para suporter itu terjadi pada 4 Oktober 2022 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, ketika ribuan orang dari berbagai kelompok pendukung klub Indonesia bersatu menyerukan perdamaian.

Kelompok suporter tersebut meliputi Brajamusti dan The Maident (Yogyakarta), Paserbumi (Bantul), Slemania dan BCS (Sleman), Pasoepati, Ultras, dan GK Samber Nyawa (Solo), Panser Biru dan Snex (Semarang), Aremania (Malang), Bonek (Surabaya), The Jakmania (Jakarta), serta Bobotoh dan Viking (Bandung).

Semangat sejenis juga datang dari kelompok suporter di kota-kota lain seperti di mulai dari Tangerang, Batam, Makassar, sampai Papua.

Artinya, kecemasan soal Piala Dunia U-20 2023 tidak perlu dipupuk terlalu lama. Apalagi, pemerintah Indonesia juga telah memasukkan suporter ke dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan.

Pasal 55 undang-undang tersebut menyatakan bahwa suporter wajib membentuk organisasi dan terdaftar sebagai anggotanya, menjaga ketertiban serta keamanan, lalu berperan dan mendukung pengembangan industri olahraga.

“Suporter harus membuat wadah yang berada di bawah cabang olahraga terkait, misalnya PSSI, sehingga kami bisa mengetahui identitas mereka. Apabila melakukan kesalahan, suporter itu bisa dilarang menonton pertandingan di stadion,” ujar Wakil Ketua Umum PSSI Iwan Budianto.

Sementara Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali meminta pihak-pihak terkait untuk terus memberikan edukasi kepada suporter demi menghentikan kekerasan-kekerasan di sepak bola nasional.

Suporter, menurut pria kelahiran Gorontalo itu, harus diingatkan supaya senantiasa menjaga sportivitas baik di dalam maupun di luar lapangan.

“Harus disadarkan bahwa dalam pertandingan olahraga, baik sepak bola maupun lainnya, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Apa pun itu mesti diterima,” tutur Zainudin Amali.

Suporter Indonesia secara alamiah ditempa dengan berbagai persoalan sejak dahulu. Mereka mengalami bagaimana sulitnya mendukung tim kesayangan di tengah penjajahan, bagaimana rumitnya memberikan dukungan ketika fasilitas tak memadai, dan bagaimana berdiri tegak kembali setelah keributan demi keributan yang memakan korban jiwa datang silih berganti.

Piala Dunia U-20 2023 tidak akan terganggu tindakan-tindakan suporter yang merugikan selama mereka diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam kerangka aturan yang berlaku. ***3***













 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022