Pamekasan (ANTARA) - Setiap tahun bencana alam  menghampiri negeri ini. Beragam jenis bencana sering terjadi, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin kencang, gunung meletus dan lain sebagainya.

Bencana merupakan fenomena alam yang memiliki sifat merusak sehingga merugikan orang banyak. Kerugian tersebut dapat berupa material maupun jiwa.

Bencana alam di Indonesia, ada yang mengelompokkannya menjadi dua jenis, yaitu bencana geologi dan hidrometeorologi. 

Secara geologi Indonesia berada pada lingkaran gunung api (ring of fire). Jalur gunung berapi membentang  dari Sumatera, Jawa hingga Sulawesi.
Indonesia merupakan negara kepulauan tropis dan dilalui oleh Sirkum Pasifik atau yang lebih dikenal dengan Cincin Api Pasifik. Sirkum Pasifik adalah sabuk seismik tempat bertemunya banyak lempeng tektonik. Sirkum pasifik membentuk sekitar 75 persen gunung berapi di dunia. Dari 452 gunung berapi yang ada di Sirkum Pasifik, sekitar 127 di antaranya berada di wilayah Indonesia.

Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan dan memiliki wilayah laut yang lebih besar dari pada daratan. Indonesia berada pada tiga pertemuan lempeng yaitu lempeng pasifik, indo-australia dan eurasia. Pergerakan lempeng ini bisa memicu terjadinya gempa bumi, tsunami dan juga aktivitas gunung api  di Indonesia.

Sedangkan bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi.   Beberapa parameter itu di antaranya  curah hujan yang tinggi, angin kencang,  banjir, kekeringan, badai, kebakaran hutan, dan tanah longsor dan lainnya.   

Posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis (garis khatulistiwa) menyebabkan rentan terkena badai, topan, juga siklon tropis. Curah hujan yang tinggi juga membuat Indonesia rentan akan banjir dan juga longsor. Apalagi, sebagian wilayah memiliki banyak gunung dan dataran miring tidak stabil yang rentan longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2021 telah terjadi bencana sebanyak 5.402 kejadian, dan 99,5 persen dari kejadian sepanjang tahun 2021 itu merupakan bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang disebabkan oleh fenomena atmosfir.

Jumlah kejadian tersebut didominasi antara lain bencana banjir yang terjadi 1.794 kejadian, 1.577 cuaca ekstrem, 1.321 tanah longsor, 579 kebakaran hutan dan lahan, 91 gelombang pasang dan abrasi, 24 gempa bumi, 15 kekeringan dan 1 erupsi gunung api.

Dampak dari kejadian tersebut adalah 728 orang meninggal dunia, 87 orang hilang, 14.915 luka-luka, 7.630.692 menderita dan mengungsi, 158.658 rumah rusak, 4.445 fasilitas umum rusak, 664 kantor rusak dan 505 jembatan rusak.

Lima provinsi tertinggi kejadian bencana adalah provinsi Jawa Barat yakni sebanyak 1.358 kejadian, Jawa Tengah 622 kejadian, Jawa Timur 366 kejadian, Aceh 279 kejadian , dan Kalimantan Selatan 272 kejadian.

Data kejadian bencana selama 2021 ini meningkat dibanding 2020 yakni sebanyak 4.649 kejadian, atau meningkat 16,2 persen.

Sementara itu, pada semester I 2022, BNPB melaporkan telah terjadi 1.926 kejadian bencana alam di Indonesia dengan kejadian bencana paling banyak berupa banjir 747 kejadian.

Edukasi sejak dini

Secara umum, dengan banyaknya kejadian bencana alam, maka pengetahuan masyarakat tentang potensi risiko menjadi mutlak untuk ditingkatkan. Sosialisasi, edukasi dan kesiapsiagaan menjadi kunci bagi pengurangan risiko bencana di masa depan.

Pengetahuan masyarakat tentang bencana sebagai upaya untuk menekan risiko bencana niscaya dibutuhkan. Dasar ini pula yang menjadi pertimbangan Forum Relawan Penanggulangan Bencana (FRPB) Pamekasan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Pamekasan menggencarkan program pendidikan melek bencana pada anak usia dini.

Lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang tersebar di 13 kecamatan menjadi sasaran FRPB dan BPBD Pemkab Pamekasan. Anak-anak ini diajari cara menyelamatkan diri apabila terjadi bencana alam, seperti angin kencang dan gempa bumi. Contohnya, di TK Tsamratul Ulum, Desa Tambung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan.

Di lembaga ini, BPBD Pemkab Pamekasan mempraktikkan teknik menyelamatkan diri apabila terjadi bencana alam seperti gempa bumi, dengan cara berlindung di bawah meja belajar sekolah saat mereka sedang berada di dalam kelas. Jika di ruang terbuka, maka anak-anak ini diminta untuk lari ke tanah lapang.

Para petugas dari BPBD dan relawan dari Forum Relawan Penanggulangan Bencana ini juga memperkenalkan secara saksama kepada para siswa tentang Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang biasa dipasang setiap ruang dan sudut sekolah.

Kepala BPBD Pemkab Pamekasan, Amin Jabir, menyatakan, pendidikan melek bencana pada anak usia dini sebagai upaya untuk memberikan pemahaman sejak dini, sehingga pengetahuan tentang teknik menyelamatkan diri saat terjadi bencana, menanggulangi potensi bencana dan menekan risiko bencana lebih kuat.

Selain itu, kesadaran untuk mengantisipasi penyebab terjadinya bencana, seperti banjir dan tanah longsor juga bisa tersampaikan secara detail dan sempurna melalui pendidikan melek bencana kepada anak usia dini, seperti pada siswa TK dan PAUD itu.

Melalui program ini, BPBD Pemkab Pamekasan berupaya mengoptimalkan tentang fungsi dan peran pendidikan bagi anak usia dini, yakni memperlihatkan dunia baru pada anak, membantu perkembangan anak, membentuk karakter yang baik untuk anak, meningkatkan semangat belajar, dan pembentukan kualitas  sumber daya manusia (SDM) anak di masa depan.

Melalui pendidikan melek bencana ini, BPBD Pemkab Pamekasan berupaya untuk mendidik ingatan anak tentang bencana dan cara menanggulangi, membentuk karakter anak bahwa bencana sesuatu yang biasa, akan tetapi perlu teknik dalam menghadapi.

Harapan terbesar dari program pendidikan melek bencana pada anak usia dini adalah mengoptimalkan segala daya dan upaya pada setiap anak untuk bisa melakukan segala hal secara sistemik dan terencana yang bisa mencegah terjadinya bencana, dan mengurangi risiko apabila terjadi bencana.

Copyright © ANTARA 2022