sebenarnya bakteri secara alami akan resisten
Jakarta (ANTARA) - Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengimbau semua warga untuk tidak asal membuang antibiotik yang sudah kedaluwarsa untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai.

“Ya jangan asal dibuang. Itu bahaya karena kalau di kita, takutnya itu (antibiotik kedaluwarsa yang dibuang) dipakai lagi. Orang kita masih menggunakan air sungai, air tanah resapan itu yang banyak,” kata Ketua KPRA Anis Karuniawati dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Rabu.

Anis menekankan antibiotik tidak boleh dibuang sembarangan karena kandungannya yang dapat membahayakan lingkungan. Apalagi bila mengingat sebagian besar masyarakat di Indonesia memiliki hidup yang bergantung pada air sungai.

Bila cairan antibiotik tercampur dengan air sungai, ia mengatakan kandungan dalam obat dapat mengenai hewan ataupun lingkungan di sekitar sungai. Saat manusia mengkonsumsi hewan atau mengolah hasil alam tersebut, dikhawatirkan dapat tertular atau menimbulkan potensi resiliensi antimikroba (AMR).

Baca juga: Kementan susun peta jalan pengendalian resistensi antimikroba
Baca juga: Kemenkes: Resistensi antimikroba jadi pandemi senyap ancam dunia

Anis menambahkan penelitian dan data terkait dengan pemeriksaan serta penanganan limbah rumah sakit datanya masih terus berjalan, sehingga membutuhkan waktu pemantauan lebih lanjut. Berbeda dengan luar negeri yang pengolahan kualitas airnya memantau gen-gen tersebut sampai keluar sungai.

“Meskipun rumah sakit banyak pasien infeksi dengan bakteri resisten, ini kan dibuang. Sementara limbah rumah sakit itu kan punya sistem penanganan limbah tapi ternyata dari pemeriksaan ini datanya masih pilot,” ujarnya.

Oleh karenanya, Anis menyatakan bahwa edukasi dan sosialisasi terkait dengan AMR harus segera digencarkan pada masyarakat, mengingat dampak AMR justru terjadi berkepanjangan di masa depan.

Terutama edukasi yang terkait dengan peningkatan kewaspadaan, karena virus atau bakteri di sekitar dapat melakukan resistensi secara alami, meski memiliki sifat yang lemah.

“Sebenarnya bakteri secara alami akan resisten. Bakteri, virus itu meski makhluk lemah diberi kemampuan untuk mutasi dibanding manusia supaya mereka survive di alam. Jadi dia tidak diapa-apakan akan resisten apalagi diapa-apakan,” ucapnya.

Baca juga: Anggota G20 diharapkan tingkatkan penanganan resistensi antimikroba
Baca juga: Pertemuan G20 AMR sorot pengaruh antimikroba pada kekebalan infeksi

Anis melanjutkan bahwa pemeriksaan atas resistensi antimikroba tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Sebab, tubuh manusia dari atas kepala sampai ujung kaki memiliki jumlah sel bakteri yang lebih besar dengan sel-sel yang dimiliki oleh manusia.

“Jadi banyak yang tidak diketahui juga spesies (bakterinya), kalau kita mau dicari, itu susah. Kalau saya di-swab karena suka ketemu pasien misalnya, itu mungkin ada MRSA di hidung saya. Jadi selama kita sehat itu tidak apa-apa karena memang jadi sulit untuk mengeceknya atau skrining ya,” ucapnya.

Baca juga: Indonesia bersama FAO ajak masyarakat hati-hati gunakan antimikroba
Baca juga: AIHSP: One Health penting untuk atasi ancaman resistensi antimikroba

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022