Washington (ANTARA) - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada Selasa (11/10) memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh sebesar 3,2 persen tahun ini dan 2,7 persen pada 2023, menurut laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru.

Menurut laporan tersebut, revisi penurunan akan mencapai 0,2 poin persentase untuk 2023 dibandingkan dengan proyeksi pada Juli,

Ekonomi global mengalami "sejumlah tantangan yang bergejolak," pada saat inflasi lebih tinggi dibandingkan inflasi yang terjadi dalam beberapa dekade. 

Pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar kawasan, konflik Rusia-Ukraina, dan pandemi COVID-19 berkepanjangan berdampak besar terhadap prakiraan tersebut, menurut laporan itu.

"Ini adalah profil pertumbuhan terlemah sejak 2001 kecuali krisis keuangan global dan fase akut pandemi COVID-19 dan mencerminkan perlambatan signifikan bagi ekonomi-ekonomi terbesar," menurut laporan tersebut.

Kontraksi dalam produk domestik bruto (PDB) riil yang berlangsung setidaknya selama dua kuartal berturut-turut (yang oleh beberapa ekonom disebut sebagai "resesi teknis") terlihat di beberapa titik selama 2022-2023 di sekitar 43 persen ekonomi. 

Kondisi itu mencakup lebih dari sepertiga PDB dunia, menurut laporan.

Seraya menyatakan bahwa risiko terhadap prakiraan itu masih sangat besar dan mengarah ke aspek negatif, laporan WEO terbaru itu menyebutkan bahwa kebijakan moneter bisa saja salah mengalkulasikan posisi yang tepat untuk mengurangi inflasi. 

Selain itu, menurut laporan tersebut, semakin banyak guncangan harga energi dan pangan dapat menyebabkan inflasi bertahan lebih lama, dan pengetatan global dalam kondisi keuangan dapat memicu tekanan utang emerging market yang meluas.

IMF memperingatkan bahwa fragmentasi geopolitik dapat menghalangi perdagangan dan arus modal, semakin menghambat kerja sama kebijakan iklim.

"Keseimbangan risiko bergerak dengan kuat ke sisi negatif, dengan sekitar 25 persen peluang pertumbuhan global satu tahun ke depan turun ke angka bawah 2,0 persen, dalam persentil ke-10 dari hasil pertumbuhan global sejak 1970," ungkap laporan itu.
 
   "Risiko kesalahan kalibrasi kebijakan moneter, fiskal, atau keuangan meningkat tajam di tengah ketidakpastian yang tinggi dan kerentanan yang meningkat," kata kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam konferensi pers pada Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 2022 pada Selasa.  Dalam laporan terbarunya, IMF juga menyoroti bahwa krisis energi dan pangan, ditambah dengan suhu musim panas yang ekstrem, adalah pengingat yang "nyata" tentang bagaimana transisi iklim yang tidak terkendali akan terjadi.


"Kondisi keuangan global dapat memburuk, dan dolar AS semakin menguat, jika gejolak di pasar keuangan meledak," kata kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas.

Ia mengatakan kondisi itu akan secara signifikan menambah tekanan inflasi dan kerentanan keuangan di seluruh dunia, terutama emerging market dan ekonomi berkembang.

Inflasi kemungkinan akan, sekali lagi, terbukti lebih persisten, terutama jika pasar tenaga kerja tetap sangat ketat, kata Gourinchas.

Terakhir, perang di Ukraina masih berkecamuk dan eskalasi lebih lanjut dapat memperburuk krisis energi, imbuhnya.

IMF berpendapat bahwa pengetatan moneter front-loaded dan agresif "krusial" untuk menghindari de-anchoring (guncangan harga jangka pendek yang dapat mengubah ekspektasi jangka panjang) inflasi.

"Kredibilitas bank sentral yang diperoleh dengan susah payah dapat rusak jika mereka kembali salah menilai persistensi inflasi yang begitu gigih. Ini akan terbukti jauh lebih merugikan bagi stabilitas ekonomi makro di masa depan," kata Gourinchas.

Ia mendesak bank-bank sentral untuk tetap tenang dengan kebijakan moneter benar-benar fokus pada penjinakan inflasi.

Kepala ekonom IMF itu menyatakan bahwa kebijakan fiskal seharusnya tidak bekerja dengan tujuan yang berseberangan dengan upaya otoritas moneter untuk menurunkan inflasi.

"Melakukan hal itu hanya akan memperpanjang inflasi dan dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan yang serius, seperti yang diilustrasikan oleh sejumlah peristiwa baru-baru ini," katanya.
 
   Dalam laporan terbarunya, IMF juga menyoroti bahwa krisis energi dan pangan, ditambah dengan suhu musim panas yang ekstrem, adalah pengingat yang "nyata" tentang bagaimana transisi iklim yang tidak terkendali akan terjadi


"Ada beberapa kerugian dari tindakan melakukan transisi iklim di sisi ekonomi makro, kerugian ini sangat, sangat rendah dibandingkan dengan kerugian jika tidak melakukan transisi iklim," kata Gourinchas dalam konferensi pers saat menjawab pertanyaan dari Xinhua.

Seraya mengatakan bahwa transisi iklim adalah proses "bertahap," Gourinchas mengatakan keuntungannya jauh lebih besar jika proses itu dimulai lebih awal.

"Jadi ya, kita harus menghadapi krisis energi saat ini. Ya, sejumlah negara menghadapi situasi yang membuat mereka perlu mendapatkan lebih banyak energi guna menghasilkan listrik selama musim dingin, dan sebagainya," kata Gourinchas.

"Namun, jalan yang harus kita lalui terkait transisi iklim adalah sesuatu yang juga tidak bisa kita abaikan," ujarnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2022