Jakarta (ANTARA) - Lima tahun sudah Anies Baswedan duduk pada jabatan orang nomor satu di Pemprov Jakarta, dan pada Minggu, 16 Oktober 2022, merupakan hari terakhir dia memimpin DKI Jakarta.

Dengan didampingi dua wakilnya, yakni Sandiaga Uno yang akhirnya mundur dari jabatannya untuk maju sebagai cawapres pada Pilpres 2019, dan Ahmad Riza Patria di tahun-tahun sisa masa jabatannya, Anies menggaungkan transformasi Jakarta menjadi kota global.

Dalam beberapa kesempatan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menegaskan bahwa yang dimaksudnya untuk menjadi kota global, bukan hanya persoalan Jakarta menjadi kota yang layak sebagai pusat ekonomi, tapi juga menjadi kota yang layak untuk ditinggali.

Selama lima tahun menjabat, Anies Baswedan melakukan berbagai upaya penataan untuk memberikan fasilitas, kemudahan, hingga kenyamanan seluruh warga Jakarta ataupun mereka yang beraktivitas sehari-hari di kota terbesar di Indonesia tersebut.

Mulai dari penataan trotoar, pembangunan jalur sepeda, pembangunan ruang terbuka hijau, rumah murah, hingga penyediaan sistem transportasi yang terintegrasi, dilakukan oleh Anies dengan tujuan utama menjadikan Jakarta menjadi kota yang layak ditinggali.

Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta mencatat bahwa antara tahun 2017-2022, sebanyak 420 taman telah dibangun dan direvitalisasi dengan lebih dari 200 ribu pohon ditanam di seluruh Jakarta, yang disebut Anies membuat ruang terbuka hijau di Jakarta lebih merata untuk diakses masyarakat, baik menggunakan kendaraan pribadi, transportasi publik, bersepeda, bahkan berjalan kaki.

"Di mana, sebanyak 91 persen kawasan Jakarta berada dalam radius berjalan kaki (800 meter) dari taman dan hutan kota. Kemudian transportasi publik dapat dijangkau hanya dengan berjalan kaki dalam radius 700 meter dari tempat tinggal," ucap Anies pada Rabu (12/10).


Trotoar-jalur sepeda

Selama lima tahun memimpin Jakarta, aktivitas berjalan kaki terlihat sekali menjadi perhatian dari Anies Baswedan dengan pembangunan dan revitalisasi trotoar yang dilakukan di Jakarta dengan membuatnya semakin lebar untuk pejalan kaki.

Bahkan hal ini juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2017-2022, di mana selama periode tersebut Jakarta menargetkan pembangunan trotoar sepanjang 2.892 km di dua sisi jalan arteri yang menjadi kewenangan Pemprov DKI sepanjang 1.446 km.

Dinas Bina Marga DKI Jakarta menyebutkan bahwa revitalisasi ataupun pembangunan trotoar yang berlangsung di berbagai ruas jalan di Jakarta itu, termasuk ke dalam Kegiatan Strategis Daerah (KSD) dan dilakukan dengan konsep complete street, yakni jalan yang dapat diakses dan digunakan semua pengguna, usia dan kemampuan.

Hal itu, agar dapat memastikan ruang untuk pejalan kaki, memberi ruang untuk pesepeda, menambahkan ruang untuk transportasi umum dan fasilitas pendukungnya (halte), menyediakan ruang untuk kendaraan pribadi dan sisa ruang dapat digunakan untuk parkir di jalan.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho menyebutkan bahwa pembangunan atau revitalisasi trotoar tersebut tidak hanya mengandalkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, tapi juga Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Surat Persetujuan Penunjukan Penggunaan Lokasi atau Lahan (SP3L).

Selama lima tahun menjabat, Pemprov DKI di bawah Anies membangun sepanjang 265 kilometer (km) trotoar yang diinginkannya di beberapa titik Jakarta.

Secara jumlah, angka tersebut memang masih di bawah 10 persen dari target dalam RPJMD, namun dalam dokumen yang sama juga disebutkan bahwa pihak Anies mempertimbangkan kemampuan sumber daya penyedia dan anggaran daerah sehingga hanya sekitar 10 persen dari panjang jalan arteri/ kolektor sekunder yang dapat dilaksanakan penataan.

Oleh karena itu, dalam masa jabatannya, Anies menyebut dalam RPJMD yang disusunnya bahwa prioritas utama penataan trotoar, yaitu pada kawasan-kawasan pusat kegiatan masyarakat dan lokasi simpul-simpul perpindahan antarmoda transportasi publik sebagai pendukung sistem integrasi transportasi publik.

Selain aktivitas berjalan kaki, pengguna sepeda juga mendapatkan perhatian yang tak kalah besar dari Anies Baswedan di mana selama lima tahun masa jabatannya, DKI membangun ratusan kilometer jalur sepeda.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat bahwa jaringan jalur sepeda yang masuk dalam rencana induk transportasi Jakarta yang secara total telah terbangun sepanjang 104,634 kilometer dan diproyeksi mencapai 309,5 kilometer pada Desember 2022 ini.

Jalur sepeda yang dibangun di Jakarta seniilai Rp119 miliar tersebut, terdiri dalam jalur sepeda yang terproteksi (dipisahkan dengan separator), jalur berbagi dengan kendaraan lain, serta jalur sepeda di trotoar.

Panjang jalur sepeda yang akan dibangun sepanjang 309,5 kilometer tersebut, melebihi ekspektasi yang ditargetkan oleh Anies sendiri sepanjang 298 kilometer.

Pembangunan trotoar, pembangunan jalur sepeda, taman, hingga sistem transportasi publik terintegrasi, bertujuan utama untuk membuat layak Jakarta untuk ditinggali dengan target bisa menurunkan tingkat polusi udara Jakarta.


Efektivitas

Capaian peningkatan infrastruktur di Jakarta, yakni pembangunan trotoar dan jalur sepeda yang lebar, untuk meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam berjalan kaki dan bersepeda di Jakarta mendapat apresiasi dari berbagai pihak, terutama pejalan kaki dan pesepeda.

Seperti yang diungkapkan pengamat tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna yang menilai kebijakan revitalisasi trotoar, jalur sepeda, yang berkelindan dengan sistem integrasi transportasi publik, "memanusiakan masyarakat" yang efeknya juga menurunkan tingkat polusi udara.

"Saya sebagai pejalan kaki dan pengguna transportasi publik juga, mengapresiasi langkah Pemprov DKI Jakarta dalam revitalisasi trotoar sampai integrasi transportasi publik, sangat memanusiakan ya, terlebih saat ini BBM sedang susah dan akan mendorong budaya baru penggunaan transportasi publik," ucap Yayat (13/10).

Meski disebut memanusiakan masyarakat yang tidak berkendara, fakta di lapangan terungkap bahwa trotoar yang kini selebar lebih dari tiga meter bahkan sama dengan lebar jalan untuk kendaraan bermotor, serta jalur sepeda tidak terpakai sesuai dengan peruntukannya.

Pejalan kaki di trotoar-trotoar yang telah lebar setelah revitalisasi terpaksa harus mengalah dari pedagang kaki lima, pengendara motor, hingga motor dan mobil yang terparkir di atasnya.

Hal yang sama, juga terjadi pada jalur sepeda di berbagai tempat, termasuk jalur yang seharusnya eksklusif bagi pesepeda dengan dipisahkan oleh pembatas, baik dari beton ataupun dari plastik (stick cone), "dikuasai" oleh berbagai kendaraan mulai dari motor, bajaj, hingga mobil, baik yang melaju ataupun parkir.

Hal tersebut membuat jalur khusus pengguna sepeda tersebut sempit bahkan tertutup seluruhnya hingga tidak bisa terlewati bahkan oleh pesepeda sendiri. Alasan yang terlontar dari para pengendara tersebut beragam, mulai dikarenakan jalan non pesepeda yang macet, jarangnya pesepeda melintas, hingga tidak adanya teguran untuk pelanggaran yang dilakukan.

"Saya tahu ini jalur sepeda dari internet. Tapi jalan nonsepeda macet, lalu tidak ada pesepeda yang melintas. Lalu kalau ada petugas datang, tidak ada imbauan ini jalur sepeda. Lebih sering (diimbau) tentang trotoar," kata Darul (41), pengemudi ojek daring.

Hal tersebut, menurut salah satu pengguna sepeda Rizky (28), membuat usaha yang dilakukan Pemprov DKI untuk memberi fasilitas, kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam aktivitas bersepeda atau berjalan kaki, akan percuma.

"Harusnya ada ketegasan, karena untuk apa dibangun jalur sepeda, dibagusin trotoarnya, kalau yang masuk tetap kendaraan-kendaraan bermotor. Bagi kita akhirnya waktu tempuh juga bertambah," tuturnya.

Pengamat tata kota Nirwono Joga menilai bahwa dengan efek yang ada saat ini, ada tahapan dalam pembuatan fasilitas-fasilitas publik tersebut yang kurang diperhatikan, termasuk sosialisasi dan edukasi yang seharusnya dilakukan sejak awal, bahkan sebelum pembangunan fasilitas, kemudian baru ada penindakan bagi para pelanggar.

Bahkan, menurut Wakil Ketua Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia itu, terkhusus untuk jalur sepeda yang sepi di beberapa ruas jalan, akibat fokus pemerintah daerah yang hanya membangun tanpa menggunakan kajian apakah ruas jalan yang dibuat jalur sepeda itu memiliki tingkat lalu lintas sepeda yang tinggi atau tidak.

Nirwono menyebutkan bahwa kajian mengenai jalur sepeda itu sebenarnya sudah ada sejak 2009 lalu yang dibuat dengan melibatkan pemerintah daerah dan komunitas bike to work. Di mana dalam kajian itu sudah dipetakan jalur mana saja yang membutuhkan jalur sepeda dilihat dari tingkat aktivitas bersepedanya.

"Pemerintah, dalam hal ini Dinas Perhubungan DKI Jakarta, seharusnya memamerkan data efektivitas ketergunaan jalur sepeda, bukan berupa panjang jalur yang dibangun saja," ucapnya.

Ratusan kilometer trotoar dan jalur sepeda telah terbangun di seluruh Jakarta dengan menghabiskan anggaran hingga ratusan miliar rupiah, dengan tujuan sebagai fasilitas untuk mendorong budaya baru dari masyarakat agar mengubah gaya hidup dengan lebih baik.

Namun, dengan berbagai fakta yang ada saat ini, keseriusan dibutuhkan dari semua pemangku kepentingan, terutama pengambil kebijakan dalam edukasi pada masyarakat, sampai dengan penegakan sanksi terhadap pelanggaran.

Terlebih, infrastruktur ini tujuannya adalah untuk mengurangi polusi udara Jakarta, yang Jakarta sendiri menargetkan terjadi penurunan 41 persen polutan berbahaya partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron atau PM2,5 pada 2030 mendatang, yang artinya akan membuat kota ini semakin layak untuk ditinggali.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022