Jakarta (ANTARA) - Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menyebut bahwa penyakit demam berdarah (DBD) memiliki spektrum perjalanan gejala yang unik pada pasien yang menderitanya.

“Dengue (DBD) memiliki spektrum perjalanan yang unik, di sini saya tampilkan kalau sudah sakit. Kalau sudah demam, demamnya akut dan mendadak, bisa terjadi antara 2-7 hari,” kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam Sub-Spesialis Penyakit Tropik Infeksi RSCM Erni J. Nelwan dalam Webinar Waspada Penyebaran Dengue di Tengah Musim Hujan yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Erni menyebutkan bahwa terdapat tiga fase yang harus dihadapi pasien saat tertular DBD. Pertama adalah fase demam berat yang cepat di mana biasanya terjadi selama dua sampai dengan tujuh hari.

Kemudian tahap kedua merupakan tahap kritis, gejala klinis pada pasien nampak seakan membaik dan hilang. Namun pada masa itu, dapat terjadi penurunan drastis jumlah trombosit menyebabkan kebocoran plasma dan shock dan atau akumulasi cairan dengan gangguan pernapasan, perdarahan kritis, dan kerusakan organ.

Baca juga: RSCM: Potensi kasus DBD perlu diperhatikan sejak musim panas

Baca juga: Kemenkes catat kasus dengue sampai minggu ke-39 2022 capai 94.355


Oleh karenanya, pasien yang mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS), harus dipantau ketat karena kemungkinan besar kehilangan volume plasma yang besar melalui kebocoran pembuluh darah. Shock hipotensi dapat dengan cepat berubah menjadi gagal jantung dan henti jantung.

“Pada derajat-derajatnya (grade), kalau sudah masuk ke demam berdarah, itu ada dari yang disertai pendarahan, tidak disertai pendarahan, ada tidaknya shock, tekanan darah yang turun sampai kemudian orangnya mengalami kelemahan bahkan bisa muncul pendarahan,” katanya.

Sedangkan fase ketiga merupakan fase pemulihan (recovery) atau fase penyembuhan pasien secara total.

Erni mengatakan selain ketiga fase tersebut, masyarakat juga harus memahami bahwa DBD bisa pula terjadi ketika pasien mengalami kondisi bergejala ringan. Namun biasanya, kondisi ringan pada pasien hanya bisa dipastikan akurat 100 persen bila melakukan pemeriksaan di laboratorium.

Erni turut menekankan bahwa DBD bisa terjadi kepada siapapun. DBD harus terus diwaspadai karena jumlah kasusnya yang terus meningkat dan sudah menimbulkan kematian di sejumlah daerah di Indonesia.

Kemudian dalam pemeriksaan pun, semua pihak diharapkan dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan.

Sebab pemeriksaan utamanya yang melalui laboratorium harus dilalui secara menyeluruh seperti melalui pemeriksaan hemoglobin, jumlah trombosit dan leukosit, sebelum akhirnya bisa mendapatkan diagnosa untuk menyatakan bahwa pasien mengalami DBD atau ditemukan adanya indikasi kebocoran dalam pembuluh darahnya.

“Harus dipahami ada pemeriksaan yang lebih lanjut pada dewasa seperti USG perut, itu juga bisa melihat apakah ada perubahan di pembuluh darah, di dinding tubuh pasien yang ditandai dengan penebalan,” katanya.*

Baca juga: Bangladesh catat lonjakan harian tertinggi angka kematian akibat DBD

Baca juga: Stok darah di PMI Jakbar cukup untuk antisipasi DBD


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022